JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Seed Paper Indonesia merupakan bisnis yang dibangun oleh pasangan suami istri, Riska dan Fadel untuk menjaga Bumi Pertiwi dengan mengurangi limbah kertas yang ada.
Berawal dari keresahan Fadel yang melihat tumpukan kertas skripsi yang tidak lagi digunakan. Lalu, ia pun memikirkan, akan kemana lagi kertas ini digunakan? Apakah dibuang begitu saja?
Fadel menyayangkan jika limbah kertas sebanyak itu hanya dibuang sia-sia. Tidak sedikit masyarakat yang memilih menggunakan kertas baru. Bahkan untuk keperluan yang sebenarnya bisa menggunakan kertas bekas pakai.
Menurutnya, penggunaan kertas baru sama saja dengan menebang pohon. Sebab, kertas baru itu berbahan dasar dari pohon.
Oleh karena itu, beberapa waktu terakhir, Fadel bersama dengan istrinya yaitu Riska menciptakan sebuah kreasi baru yang menghasilkan pundi-pundi rupiah.
"Baru mulai sih akhir tahun 2019 dan awal tahun 2020 itukan mulai terjadi corona, ditambah ada corona tuh makin susah mencari pekerjaan," ungkap Fadel saat diwawancarai Poskota.co.id, Kamis (9/6/2022).
"Jadi saya dan istri saya mencari ide untuk membuat suatu kreasi yang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah," sambungnya.
Kemudian, dari keresahan melihat limbah kertas tersebut, akhirnya terciptalah Seed Paper Indoneasia.
Seed Paper Indonesia memproduksi kertas daur ulang yang di dalamnya terdapat benih berbagai tanaman. Seperti wortel, bayam, tomat, cabai, hingga berbagai jenis bunga.
Keduanya menggunakan kertas daur ulang sebagai sarana menumbuhkan benih.
Kertas daur ulang yang telah terdapat benih kemudian dijadikan berbagai produk. Mulai dari undangan pernikahan, nametag pakaian, kartu nama, dan produk lainnya. Harga yang ditawarkan pun bervariasi, mulai dari Rp 1.500 sampai dengan Rp 25.000.
“Untuk nametag atau gantungan baju baru itu mulai dari Rp 1.500 sampai Rp 3.800. Kemudian kartu ucapan itu mulai dari Rp 4.500 sampai Rp 6.500, undangan pernikahan atau acara lainnya itu dari Rp 5.000 sampai Rp 15 ribu. Dan ada juga kertas lembaran mulai dari Rp 13 ribu hingga Rp 25 ribu,” urai Riska.
Kertas produksi seed paper yang sudah tidak terpakai harus disiram dengan air agar benih bibit tumbuh.
Setiap jenis tanaman memiliki masa tumbuh yang berbeda-beda. Misalnya, bayam yang pada hari ketiga hingga ketujuh sudah mulai tumbuh kecambah. Kemudian pada hari ke14 sudah dapat dilakukan panen microgreen dan pada hari ke40 sudah bisa dipanen.
Proses pembuatan seed paper sejatinya sama seperti daur ulang kertas pada umumnya. Di mana kertas harus terlebih dahulu dihancurkan dan dijadikan bubur kertas. Setelah itu, bibit tanaman dimasukkan sebelum akhirnya dicetak.
”Ada trik-trik khusus dari kami (pada) seed paper agar si kertas itu rapih dan bisa masuk kertas print. Dan itu mohon maaf tidak bisa kami katakan di sini,” lanjutnya.
Selain itu, pemasaran juga dilakukan dari mulut ke mulut. Kertas benih hasil produksi Riska dan Fadel tidak hanya diminati oleh warga Jakarta, tapi juga dari berbagai wilayah di Indonesia mulai dari Sabang hingga Merauke. Tidak sedikit pula pembeli seed paper yang berasal dari mancanegara.
“Kita juga beberapa kali meme nuhi pasokan untuk orderan dari Singapore, Malaysia, Belanda, Ceko, Italia, Spanyol, Manchester, India,” ungkap Riska.
Dalam sebulan, perempuan kelahiran Riau pada 1993 itu bisa mem peroleh penda patan kotor hingga Rp 20 juta. Sang suami, Fadel, ingat betul bagaimana dia merintis Seed Paper Indonesia. Saat itu, Fadel melihat begitu banyak kertas skripsi miliknya, Riska, dan sang adik yang menum puk di rumah.
Dari situlah dia mendapatkan ide untuk mendaur ulang tumpukan kertas skripsi tersebut menjadi kertas bibit. Proses pembuatan kertas bibit tidak langsung berhasil. Perlu sedikitnya 18 kali percobaan selama 2 bulan hingga akhirnya berhasil.
Fadel mengakui, tidak semua bibit bisa digunakan. Beberapa jenis tanaman yang berhasil dicoba di antaranya wortel, bayam, tomat, cabai, bunga cosmos, bunga aster, bunga petunia dan bunga daisy.
“Cuma kebanyakan bibit mayoritas bisa ditanam dengan metode kertas ini,” jelasnya. (CR02)