Lebih lanjut Edi, menjelaskan bahwa sebenarnya bukan hanya BPA yang terdapat dalam kemasan pangan, tetapi terdapat banyak zat berbahaya lainnya pada kemasan pangan seperti Acethyl Dehide pada PET, logam seperti besi, angan pada makanan.
Semua itu juga harus menjadi perhatian BPOM kalau benar-benar ingin meliindungi masyarakat.
Kritik terhadap sikap Arist Merdeka Sirait terkait dukungan kerasnya pada kebijakan pelebelan BPA pada galon guna ulang ini juga telah dikritik oleh penggiat kemajuan anak Indonesia dan pendiri Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Kak Seto Mulyadi dan anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listiyati.
Keduanya mengatakan bahwa Komnas PA seharusnya lebih fokus pada upaya perimdungan anak dari tindak kekerasan terhadap anak.
Kak Seto Mulyadi, atau yang juga seorang psikolog meminta agar BPOM dan Kemenkes membuat klarifikasi yang benar mengenai isu ini.
Kak Seto khawatir, banyak orangtua yang terpapar hoaks akibat berkembangnya isu terkait BPA ini.
"Isu hoaks bahaya BPA di galon guna ulang ini harus betul-betul mendapat klarifikasi pihak yang berwewenang, seperti dari BPOM atau Kemenkes. Mohon segera diklarifikasi, sehingga berbagai kesalahpahaman masyarakat tidak semakin berkembang," ujarnya.
Kak Seto menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada satupun orangtua dari anak penderita autis yang melapor ke LPAI hanya karena penggunaan air minum galon guna ulang.
"Sampai saat ini LPAI belum pernah mendengar laporan ada anak yang menderita autis karena terlalu banyak minum air galon," ujarnya.
Hal serupa juga dikatakan oleh Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, saat dimintai keterangannya mengenai polemik BPA pada galon guna ulang.
Menurutnya, KPAI tidak pernah melakukan advokasi terkait masalah kesehatan terutama kandungan BPA pada gallon guna ulang.
Retno mengatakan, masalah kesehatan pangan itu sudah ada ranah yang menanganinya, yaitu Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).