Akankah polarisasi dukungan tetap mewarnai politik elektoral ke depan? Jawabnya patut untuk dikhawatirkan, jika mengusung banyak paslon tidak segera dilakukan pada pilpres 2024.
Melihat jumlah kekuatan kursi masing–masing parpol di DPR, setidaknya dapat diusung 3 paslon, malah bisa 4 paslon capres-cawapres sehingga akan memudarkan polarisasi yang selama ini sudah terbentuk.
Polarisasi memang gejala global yang melanda banyak negara. Ini tak lepas dari menguatnya kepemimpinan populis seperti Donald Trump di AS, Recep Tayyip Erdogan di Turki dan Narendra Modi di India.
Hal sama terjadi di negeri kita, bedanya polarisasi lebih diwarnai dengan sentimen identitas, utamanya sosial keagamaan yang sama sekali tidak terkait dengan ideologi politik. Unsur SARA menjadi primadona dalam mengemas sentimen negatif.
Kondisi ini yang harus dicegah. Sudah saatnya para elite politik, caleg, capres dan cawapres tidak lagi mengusung sentimen negatif berbasis identitas sosial keagamaan untuk meraih dukungan massa seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Stop isu SARA sebagai jualan. Hendaknya lebih fokus kepada visi, misi dan program kerja untuk meraih simpati publik sebagai bagian mengubah perilaku pemilih lebih rasional, bukan lagi irasional karena sentuhan sentimen negatif yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur falsafah bangsa, Pancasila.
Lihat juga video “Momen Anies Baswedan Takziah ke Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil”. (youtube/poskota tv)
Babak berikutnya adalah rekonsiliasi di antara para elite politik, apapun latar belakangnya dengan satu tujuan membangun persatuan dan kesatuan. NKRI yang berdasarkan Pancasila dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
Rekonsiliasi tak hanya di atas kertas, tetapi realitas kehidupan sehari–hari yang tercermin melalui pikiran, ucapan dan perbuatan.
Monggo “ Noto ati ben uripe mukti, noto ilat ben ora kuwalat, noto roso ben ora ciloko, noto polah ben ora salah” – Menata hati – berlapang dada agar hidupnya bahagia sejahtera, menata ucapan biar tidak ada penyesalan, menata rasa agar tidak celaka, menata tingkah laku perbuatan agar tidak salah –keliru. (azisoko*)