Kopi Pagi

Pemaksaan Kehendak 

Kamis 02 Jun 2022, 06:05 WIB

Sangat tidak bijak jika mengakui adanya keberagaman, tapi masih mempersoalkan perbedaan. Sangat tidak bijak lagi, jika mengakui perbedaan, tetapi memaksakan pendapatnya adalah yang paling benar..” - Harmoko
 
Di tengah gemuruhnya reformasi di era globalisasi, di tengah kian terbukanya kebebasan berpendapat, utamanya di dunia virtual, bangsa ini seolah kehilangan orientasi nilai yang seharusnya mengacu kepada kesatuan dan persatuan. Keluhan umum seperti demokrasi yang kebablasan, kebebasan pendapat tak kenal kompromi kian memperlebar perbedaan yang diwarnai dengan pemaksaan kehendak.

Serinb terlihat semangat otonomi di sejumlah daerah terjelma dalam berbagai bentuk peraturan yang bertabrakan dengan aturan daerah lain, bahkan dengan pusat. Sering pula mengabaikan aspek kebhinekaan.

Di level bawah sering terdengar kelompok atas nama agama, kesukuan dan dukungan terlibat konflik kepentingan. Pemaksaan paham dan dukungan nyaris selalu menjadi motifnya.

Ditambah lagi dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan perluasan partisipasi masyarakat dari semua kalangan melalui jejaring ruang publik virtual dan digital yang mampu menggiring opini publik di dunia nyata (faktual) realitas kita.

Tak jarang, opini di ruang publik virtual menjadi rumusan kebijakan, padahal tak semua opini yang terbangun sesuai dengan kehidupan nyata. Lebih-lebih jika asumsi tersebut dipaksakan, yang terjadi kemudian adalah ketidakadilan. Perseturuan dan gesekan, tak hanya di dunia maya, juga dunia realita.
Sementara kita tahu, pemaksaan kehendak apapun bentuknya, tak sejalan dengan falsafah bangsa sebagaimana tercermin dalam nilai- nilai Pancasila. Tak selaras dengan jati diri bangsa.

Lebih ironi, jika pemaksaan kehendak diterapkan oleh para elite politik, pejabat dan tokoh masyarakat dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Wacana menunda pemilu, memperpanjang atau menambah masa jabatan presiden adalah bentuk lain dari upaya pemaksaan kehendak politik kepentingan. Padahal, esensi demokrasi Pancasila dengan mengutamakan dialog, musyawarah dan mufakat, bukan dengan mengusung kebebasan pendapat, tetapi pada ujungnya memaksakan kehendak.

Yang lebih memprihatinkan ,jika ruang kebebasan itu dibajak untuk mengklaim dirinya yang paling benar, sementara yang lain dipersalahkan. Lantas, memaksakan kehendak karena dirinya merasa paling benar dan mendapat dukungan.

Publik tentu sangat cerdas untuk dapat memahami masih terdapat sejumlah wacana dan kebijakan lain, yang lahir tak lepas dari pemaksaan kehendak yang diawali dari propaganda di ruang publik virtual digital  hingga merembes ke dunia faktual. 

Disinilah perlunya kepekaan sosial dari pengguna media virtual digital untuk senantiasa berperilaku sesuai adat budaya bangsa kita. Membangun komunikasi sosial baik di virtual dan aktual dengan baik. Mampu memberikan dampak positif dan nilai tambah bagi kemajuan bangsa untuk mencapai cita- citanya.

Yang hendak saya katakan adalah tak ada alasan lagi untuk semakin memantapkan ideologi dan jati diri sebagai panduan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanpa itu, negeri kita bagaikan kapal besar yang terombang – ambing kehilangan arah. Apalagi jika di dalam kapal, penumpangnya yang penuh keberagaman saling bertikai satu satu sama lain. Goyangan kapal boleh jadi semakin membesar akibat terpaan ombak dan angin kencang dari berbagai arah, akibat situasi ekonomi global. Belum lagi adanya triple horor yang setiap saat menghantam kapal kita, yakni laju inflasi yang tinggi, suku bunga tinggi dan pertumbuhan ekonomi melambat. Krisis di atas krisis mengancam dunia.

Dalam kondisi seperti ini, hendaknya kita semua tidak lagi mengusik perbedaan di atas keberagaman. Yang semestinya dilakukan adalah menghargai perbedaan di atas keberagaman, bukan memaksakan kehendak di atas keberagaman, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Tak hanya dalam ucapan, juga sikap perilaku perbuatan dalam setiap saat, dari waktu  ke waktu, dari hari ke hari tiada henti, meski terdapat perubahan situasi.

Ini diperlukan sikap saling menghormati, saling menghargai. Sangat tidak bijak jika kita mengakui adanya keberagaman, tapi masih mempersoalkan perbedaan. Sangat tidak bijak lagi, jika mengakui perbedaan, tetapi memaksakan pendapatnya yang berbeda agar diakui kebenarannya. Pendapatnya yang paling baik dan benar untuk bangsa dan negara.

Tak hanya saling menghargai, masing- masing perlu lebih mengedepankan sikap rela berkorban untuk menyamakan persepsi. Selalu berpikir positif (husnudzon), bukan berpikir negatif (suudzon) untuk menjaga keharmonisan dan keserasian dalam berbangsa dan bernegara. Itulah perilaku luhur yang perlu menjadi jati diri bangsa.

Pitutur luhur yang tertulis dalam Serat Wedhatama karya Sri Mangkunegara IV mengajarkan, "Amemangun karyenak tyasing sasama” – selalu berusaha untuk berbuat baik dengan orang lain, menyenangkan hati sesama, tidak menyebabkan permusuhan, pertengkaran, tidak menyakiti. Alangkah baiknya menolong tanpa pamrih. ( Azisoko *)

Tags:
Kopi pagi Harmoko

Administrator

Reporter

Administrator

Editor