JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Pengamat Kebijakan Ekonomi Wiko Saputra mengatakan, maraknya kebun sawit Malaysia di tanah air bermula saat krisis moneter melanda Indonesia pada 1997-1998.
Saat itu Indonesia menerima pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF) dengan salah satu syarat harus membuka investasi asing di beberapa sektor, termasuk perkebunan kelapa sawit.
Meskipun saat ini Malaysia nomor dua produsen terbesar di dunia, negeri Jiran menjadi standar dan penentu harga minyak sawit mentah (CPO) dunia, serta meraup pasar premium seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang.
Sedangkan Indonesia mengekspor ke pasar nonpremium seperti China, India, dan Bangladesh.
Dengan mendapatkan pasar premium, perusahaan-perusahaan Malaysia terus berinvestasi di Indonesia. Wiko memperkirakan, luas kebun sawit milik Malaysia bahkan lebih besar dari 3,7 juta hektare.
“Ini bisa terjadi ketika dia pakai perusahaan dalam negeri, tapi bohirnya orang Malaysia,” ujar Wiko di Jakarta, Rabu, (1/6).
Jika devisa tahun 2021 dari sektor sawit mencapai Rp 429,7 triliun, Wiko mengatakan hanya 30 persen yang kembali ke Indonesia. Sisanya kembali ke kantong investor asing. Apalagi banyak yang memiliki anak perusahaan yang bergerak di sektor keuangan.
Menurut Wiko, pemerintah harus tegas dalam mengatur penanaman modal asing. Di bidang perkebunan kelapa sawit, misalnya, perusahaan harus memberi jaminan atau komitmen untuk meningkatkan nilai tambah.
Tidak hanya bahan mentah, tapi juga transfer teknologi dalam memproduksi bahan untuk kosmetik ataupun fetoprotein.
“Sehingga tidak hanya bersifat raw material, tapi juga produk-produk berteknologi. Jangan sampai perusahaan ini hanya transfer residu di Indonesia,” tutur Wiko.
Selain itu, pemerintah harus memaksa pengusaha Malaysia yang sudah eksisting membangun kemitraan dengan masyarakat. Kontrak kerja sama dibuat tidak hanya dalam bentuk inti plasma tapi juga koperasi, misalnya. Dan hal ini harus diawasi dan dievaluasi secara berkala.
Luasnya perkebunan milik perusahaan Malaysia di Indonesia mendatangkan cuan yang berlimpah pula. Wiko mengasumsikan, rata-rata pendapatan kotor dari total luas 3,7 juta hektare mencapai Rp 222 triliun per tahun. Angka itu didapatkan dari formula perkalian luas lahan, produktivitas 4 ton per hektare, dan harga CPO sebesar Rp15.000/kg.
Jika dibandingkan, pendapatan tersebut berkisar 47,6 persen dari total seluruh anggaran megaproyek ibu kota negara (IKN) di Kalimantan Timur sebesar Rp 466 triliun. Atau 8,17 persen dari total Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) Indonesia 2022 sebesar Rp 2.714 triliun.
Namun, sejarah bisnis yang panjang dan besarnya cuan tak berjalan paralel dengan kontribusi perusahaan tersebut. Meskipun ada kewajiban seperti pajak, pungutan ekspor, dan pembukaan lapangan pekerjaan (mayoritas buruh kebun). Wiko menilai hal itu tidak sebanding dengan masifnya pengembangan sawit perusahaan Malaysia di Indonesia.
Sekadar informasi, berdasarkan data 2021, terdapat 7,9 juta konsesi perkebunan sawit milik investor asing di Indonesia. (CR04)