PAK KADES memahami terjadinya perselingkuhan antara Pawiro (56), dengan janda Paidah (49); karena sama-sama kesepian! Tapi warga yang tak paham, masak aksi mesum merusak nama desa kok hanya didenda. Harusnya diusir! Karenanya warga ngamuk, Balai Desa dirusak, padahal dendanya cuma Rp 20 juta.
Perselingkuhan terjadi biasanya karena sama-sama kesepian. Kalau masih ada pasangan masih juga punya PIL/WIL, itu namanya nggragas! Tapi meski beda motifnya, dampaknya sama saja, mengancam keberlangsungan rumahtangga. Kasus-kasus demikian kebanyakan diselesaikan dengan perceraian. Ada juga yang tetap mempertahankan rumahtangga dengan alasan kasihan anak-anak, tapi orangtua tetap memendam luka yang dalam, sedalam sumur resapan di Jakarta.
Pawiro, lengkapnya Pawirowiranu, warga Kecamatan Palang Kabupaten Tuban (Jatim), adalah salah satu lelaki yang kesepian itu. Bagaimana nggak kesepian, ada istri tapi dianya sudah beberapa tahun kerja di Kaltim, ikut mempersiapkan IKN ngkali! Otomatis Pawirowiranu tak bisa menjalankan fungsinya sebagi kepala keluarga secara normal. Soal benggol memang selalu dikirim setiap bulan, tapi masalah bonggol?
Kehidupan Pawiro benar-benar kesepian. Biasanya malam selalu ada yang ditunggu, sudah beberapa tahun ini ngaplo (bengong), karena hanya ditemani guling tanpa makna. Mau “jajan” takut dosa dan kena penyakit. Resikonya, oleh teman-teman seangkatan Pawirowiranu suka diledek. “Mendingan namamu sekarang ganti saja menjadi Pawiro wis ora nganu......!” kata teman-teman sambil senyum dikulum.
Apa makna “wis ora nganu” itu, ya tanyakan kepada YBS (yang bersangkutan). Di kala rasa sepi itu terus melanda, Pawiro suka ketemu dengan Paidah yang senasib dengan dirinya. Dia kesepian permanen karena suami tak ada lagi. Entah cerai atau ditinggal mati, kurang jelas. Yang pasti Paidah ini juga jadi “randha ngentekna klasa” kata ludruk Surabaya. Memangnya hidup menjanda itu gemar makan tikar?
Menyamakan dengan diri sendiri, Pawiro memprediksi Paidah juga sama-sama kesepian. Iseng-iseng dia mendekati, ternyata si janda menyambut dengan karpet merah. Lantaran senasib sepenanggungan itulah, ujung-ujungnya nggelar kasur dalam rangka hubungan intim bak suami istri. Masa gencatan senjata pun selesai sudah. Asal keduanya butuh, tinggal atur waktu ketemu. Biasanya selalu malam hari.
Lama-lama warga curiga, kenapa malam-malam Pawiro suka patroli ke rumah Paidah. Iseng-iseng ada yang memonitor, hasilnya ada yang memergoki ketika Pawiro-Paidah sedang berbagi cinta. Mereka langsung digerebek dan disidang di balai desa. Dalam pemeriksaan, pada Pak Kades Pawiro mengaku bahwa sudah 14 kali kencan bersama Paidah.
Pak Kades yang memahami latar belakang penyebabnya, hanya memberikan denda pada keduanya sebanyak Rp20 juta ditanggungrenteng. Meski tidak cash hari itu juga, keduanya menyanggupi. Sayangnya warga tak memahami, enak betul urusan begituan hanya didenda, dijadikan sumber PAD (Pendapatan Asli Desa). “Ini ironis sekali, urusan damai di ranjang hanya diselesaikan dengan damai di uang....!” kata warga yang rupanya anggota LSM entah berentah.
Warga mendesak agar keduanya diusir dari kampungnya, karena bikin kotor nama desa. Tapi Kades menolak, karena tak ada alasan kuat untuk mengusir keduanya. Itu pelanggaran HAM namanya. Putus asa tuntutannya ditolak, warga jadi ngamuk. Balai Desa yang dibangun dari Dana Desa itu dirusak. Genting dilempari, tembok digedor-gedor pakai bodem, jadi mirip P2B menertibkan bangunan tanpa IMB. Polisi pun turun tangan mengamankan situasi.
Denda Rp20 juta belum diterima, Balai Desa kadung ancur duluan! (GTS)