“Seperti misalnya, harga saham Bukalapak dan GoTo yang turun di bawah harga IPO pasti akan memunculkan potensial loss di dalam portofolio mereka. Tetapi hal tersebut seharusnya dilihat sebagai sebuah kewajaran,” paparnya.
Dijelaskan Piter, investasi BUMN di perusahaan startup bukanlah investasi jangka pendek. Kepemilikan saham startup oleh BUMN bukan untuk dijual segera ketika harganya sudah cukup tinggi.
“Kepemilikan saham startup digital oleh BUMN adalah untuk strategi jangka panjang dalam upaya membangun ekosistem digital di masa depan yang akan memberikan jaminan memenangkan persaingan,” ucapnya.
Selain Telkom ke GoTo, Piter pun menyinggung soal investasi Bank Mandiri melalui Mandiri Capital juga menanamkan modal di 23 perusahaan startup, 11 diantaranya sebagai lead investor. Beberapa portofolio Mandiri Capital sudah tumbuh menjadi unicorn yaitu Bukalapak, atau decacorn yaitu GoTo.
Bank BRI melalui anak perusahaannya BRI Ventures yang juga melakukan investasi di 21 perusahaan start up, dan menjadi lead investor di 5 perusahaan yang dibiayai. Beberapa portofolio BRI Ventures sudah tumbuh menjadi unicorn, seperti Bukalapak dan Xendit.
Dikatakan Pieter, menyalahkan BUMN karena adanya potential loss dari sebuah investasi pada startup digital, akan berdampak buruk bagi masa depan startup di Indonesia. Keterlibatan BUMN dalam perkembangan startup digital akan menurun drastis, dan startup di Indonesia akan kembali bergantung kepada modal asing.
“Startup yang potensial akan kembali dikuasai oleh investor asing. Jangan menjadi penyesalan apabila kelak pasar dan industri digital dikuasai oleh asing karena BUMN dibatasi pergerakannya untuk berinvestasi sejak dini pada startup Indonesia,” pungkasnya.(*)