JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Pembangunan Maritim di Indonesia harus terus dilakukan, tanpa terkecuali siapa pun pemimpin atau rezimnya yang berkuasa. Terlebih, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki potensi menjadi Poros Maritim Dunia.
Hal itu, diungkapkan Pengamat Maritim juga pendiri Perkumpulan Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI) Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa dalam acara diskusi publik yang digelar Ikatan Alumni Lemhanas (IKAL Strategic Center), pada Rabu (20/4/2022).
"Kita ini bangsa maritim. Soekarno juga tidak mengatakan Indonesia adalah negara agraris. Tapi secara spesifik beliau mengatakan bahwa Indonesia adalah negara lautan yang ditaburi oleh pulau-pulau, bangsa maritim," ujarnya.
Dikatakannya, bahwa Indonesia terdiri dari 17.499 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote. Dimana total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta kilometer persegi (km2). Dan artinya 5.80 juta Km2 adalah lautan atau 67 persen wilayah Indonesia adalah lautan.
Di pemerintahan Jokowi ini, Capt Hakeng mengapresiasi positif karena telah memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan dunia maritim di Indonesia.
Dikatakannya, bahwa sudah sekian lama bangsa Indonesia tenggelam dalam konsep negara agraris, dan rakyat pun dipaksa untuk memahaminya itu.
"Akhirnya kita kembali ke ‘haluan’ kita yang sebenarnya yaitu sebagai Bangsa Maritim. Saya melihat baru kali ini ada pemerintahan yang memberikan konsep Poros Maritim Dunia serta Tol Lautnya," ungkapnya.
Dirinya sebagai Pengamat Maritim juga merasa khawatir jika pada 2024 nanti terjadi pergantian rezim.
"Dan terus terang, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi saya sebagai pengamat maritim, ketika tahun 2024 nanti terjadi pergantian rezim, apakah rezim penggantinya masih memiliki visi yang sama perihal Maritim?," ucap Capt. Hakeng.
Namu demikian, Capt.Hakeng berkeyakinan dengan kondisi geografis Indonesia yang specific dan given sepertidengan tema diskusi kita kali ini ‘Pembangunan Maritim Pasca 2024’ Tetap adakah?, maka tentunya jawabannya adalah sudah pasti harus tetap ada.
"Selama negara kita masih terdiri dari banyak pulau dan belum ada teknologi yang mampu menyatukan pulau-pulau itu menjadi satu benua. Maka selamanya Indonesia merupakan negara maritim dan Indonesia selamanya membutuhkan pembangunan di bidang maritim," ungkapnya.
Dalam diskusi publik tersebut, Capt. Hakeng juga turut menyoroti beberapa isu dan memberikan beberapa masukkan kepada pemerintahan untuk bisa dijadikan perhatian.
Isu pertama yang dibahasnya adalah mengenai Lima Pilar Poros Maritim Dunia. Dimana menurutnya fokus atau pekerjaan rumah besar yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah terkait Pilar Pertama, Ketiga dan Keempat.
Dimana pada pilar yang pertama, pembangunan kembali budaya maritim Indonesia.
"Kemudian pilar ketiga yang patut mendapat perhatian adalah komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim," paparnya.
Pilar keempat yang jadi fokus pembahasan Capt. Hakeng adalah diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama pada bidang kelautan.
"Kata diplomasi saya soroti ini sebagai titik yang belum bisa maksimal. Karena itu saya mendorong agar pilar keempat ini dilebarkan maknanya menjadi Promosi Maritim, sehingga bisa melibatkan seluruh elemen bangsa," tegasnya.
Dalam diskusi, Capt. Hakeng pun memberikan perhatian dalam memaksimalkan peran pelaut Indonesia dalam menjaga kedaulatan Indonesia sebagai bangsa Maritim.
Indonesia memiliki 111 Pulau Kecil terluar, karena itu negara harus hadir di setiap pulau kecil terluar. Jangan sampai peristiwa hilangnya Pulau Ligitan dan Sipadan ke negara lain menjadi terulang kembali.
"Harusnya dapat kita sepakati bersama bahwa ada PR besar yang menunggu untuk kita selesaikan. Sangat penting untuk selalu dapat memahami betapa Negara Indonesia adalah Negara yang sedang bercita-cita menjadi Negara Maritim," pamungkasbya. (deny)