JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Maraknya penangkapan terduga terorisme oleh tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri, akhir-akhir ini menghiasi pemberitaan media massa baik cetak maupun elektronik, masyarakat pun diminta waspada dengan gerakan paham radikalisme tersebut.
Mulai peristiwa penembakan terhadap tersangka dokter Sunardi di Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Rabu (9/3/2022) lalu dan tertangkapnya residivis teroris di Tangsel, kemudian di Kendal Jawa Tengah hingga di Sumatra Barat ditanggapi oleh Muhammad Makmun Rasyid, Pengurus Harian Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme MUI Pusat.
"Terorisme pasca Parawijayanto dan beberapa seniornya yang lain tidak bisa kita samakan, wajahnya pun berbeda. Jika dulu umumnya tertutup, kini mereka terbuka dan berkamuflase di sekitaran masyarakat umum. Orang-orang yang terlibat jaringan teror ini mulai menunjukkan wajah dan kehidupan yang normal. Ini dilakukan agar mereka bisa terhindar dari jeratan hukum untuk itu masyarakat harus tetap waspada dan hati-hati," kata Muhammad Makmun Rasyid, Minggu (27/3/2022).
Menurutnya, belakangan ini setiap individu dari kelompok teroris ini ditangkap, mulai menunjukkan geliat yang berbeda.
Ada yang pasrah dengan hukum sembari menyembunyikan kawan-kawannya dan ada juga yang melawan seperti kasus yang terjadi pada tersangka dokter Sunardi yang akhirnya tewas di tempat.
"Dia melawan karena jati dirinya yang asli akan terbongkar di masyarakat dan ini ditakutkannya. Dia telah membangun image baik sebagai dokter yang suka membantu dan menggratiskan pasien di masyarakat. Padahal pasien yang digratiskan itu, dokter Sunardi mendapat imbalan bulanan dari jaringan teroris. Salah satu duit yang didapatkannya melakui Hilala Ahmar Society, yang ditetapkan Uni Eropa, UN dan Indonesia sebagai yayasan filantropi yang terkait dengan jaringan terorisme," paparnya.
Pria kelahiran Medan, Sumut, 24 Oktober 1992 ini mengatakan bahwa UU No 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu mengamanatkan agar para penegak hukum seperti Densus 88 Antiteror Mabes Polri untuk menangkap siapa saja yang terlibat, tidak saja pelaku teror secara langsung, melainkan yang memberikan dukungan, motivasi dan memberikan pendanaan.
"Saat ini pula, jaringan teroris yang tampil ke permukaan dengan beragam wajah perlu kita waspadai. Beberapa tempat yang menjadi sarang mereka seperti yang diberitakan pihak keamanan jangan dianggap sepele oleh pemerintah setempat. Misalnya, jika Tangsel diberikan alarm oleh kepolisian, maka pemerintah dan civil society harus menaikkan ketangkasannya dalam menanggulangi dan mencegah gerakan radikal-terorisme. Jangan hanya berpikiran bahwa ini tugas kepolisian semata," tegasnya.
Disini butuh sinergisitas antar stakeholders. Jangan membiarkan kepolisian bergerak untuk menindak sendirian. Kepolisian sangat mampu menembaki dan menghukum pelaku teror, tapi ideologi dan pahamnya membutuhkan uluran tangan kita bersama. Artinya, sinergisitas sebuah keniscayaan," tambahnya.
Tak hanya itu, Makmun Rasyid juga menjelaskan jika salah satu yang utama yang perlu diwaspadai yakni propaganda kelompok teroris di media sosial seperti yang dilakukan grup Annajiyah, yang ditangkap Densus 88 Antiteror Mabes Polri beberapa waktu lalu.
"Annajiyah ini media ISIS versi Indonesia, terjemahan dari Amaq dan An-Naba. Dimana mereka punya penterjemah, desainer grafis, forwader, editing audio/video dan manajemen isu. Nah, Isu-isu global dirubah dan dibuat versi Indoensia sembari mengait-ngaitkan isu lokal," tandas Co-Founder The Centre for Indonesian Crisis Strategic Resolution. (mia)