Ketika Sastra Jendra dibongkar tuntas tanpa kerendahan hati, tanpa kepasrahan, dan tanpa kematangan akal budi, maka yang ada adalah napsu. Suatu napsu yang nampaknya bisa dikemas dengan baik, bahkan dengan berbagai pembenaran termasuk mengatasnamakan rakyat sekalipun, namun pada dasarnya berintikan hasrat kuat tak teratur untuk berkuasa.
Sama dengan Wisrawa yang merasa mendapatkan legitimasi demi rasa sayang pada anak, maka para penggagas penundaan Pemilu pasti juga memiliki kepentingan tersembunyi sehingga berbagai resiko politik pun akan ditabrak dengan melupakan realitas bahwa kultur yang telah terbangun adalah bagian dari bangunan demokrasi yang telah menciptakan mekanisme regenerasi kepemimpinan lima tahunan di seluruh tingkatan.
Kultur itulah yang akan digantikan, dengan perpanjangan tanpa melalui pemilu, yang artinya tanpa basis legalitas dan legitimasi rakyat. Sekiranya hal tersebut terjadi, maka suara para punakawan yang begitu jernih pasti akan ditinggalkan. Punakawan ini tidak memiliki kekuasaan formal, namun mereka memiliki mata hati. Mereka memahami dialektika sosial yang seringkali penuh dengan “Faktor X”.
Sosok begawan seperti Wisrawa sekalipun, ketika hasrat kekuasaan menutupi mata hati, berubah menjadi sosok pongah, terlalu percaya diri-penuh ambisi. Ambisilah yang menjadi daya gerak dengan menutup nurani. Dalam gambaran seperti ini, elite tersebut sudah mengunci dirinya sehingga tidak lagi peka terhadap rambu-rambu, bagaikan Satra Jendra yang dikupas bebas dengan melupakan batasan yang diberikan. Hasilnya pun analog dengan Sastra Jendra.
Jadi, daripada melupakan keseluruhan rambu-rambu Konstitusi, dan kemudian energi habis hanya untuk bersilat lidah tanpa henti, sebaiknya stop niatan membongkar Sastra Jendra. Gunakanlah seluruh ilmu dan kuasa, untuk berpihak sepenuhnya bagi kepentingan rakyat. Sebab rakyatlah pemegang kekuasaan yang sejati. Rakyatlah penuntun nurani dengan terang akal budi.
Sekiranya mata hati rakyat dan para punakawan dilupakan, maka seluruh gagasan penundaan pemilu akan melahirkan berbagai dampak yang menciptakan ketidakstabilan. Inilah yang harus dihindarkan. Kisah Sastra Jendra telah menjadi bingkai moral kebenaran agar tidak menyalahgunakan kekuasaan. Merdeka!!