Presiden Gus Dur pernah mencoba mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan MPR hasil Pemilu 1999. Namun karena tidak matang, MPR segera bersidang dan menjawab dekrit Presiden sebagai pelanggaran terhadap konstitusi dan haluan negara. Maka, Presiden Gus Dur diberhentikan dari jabatannya.
Pertanyaannya sekarang, apakah Presiden Jokowi punya nyali untuk mengeluarkan dekrit? Karena resiko politiknya terlalu besar. Malahan, bisa jadi boomerang bagi Presiden Jokowi sendiri.
Cara ketiga, yaitu menciptakan konvensi ketatanegaraan yang dapat diterima dalam praktik penyelenggaraan negara, adalah cara yang paling tidak mungkin dilakukan saat ini.
Karena sekarang zaman sudah berubah. Rakyat sudah lebih paham bagaimana penyelenggaraan negara dibanding zaman revolusi tahun 1945-1949. Ahli-ahli tambah banyak. Ada media sosial yang membuka peluang bagi siapa saja untuk mengkritik, ada Mahkamah Konstitusi yang bisa menguji undang-undang dan mengadili sengketa kewenangan antar lembaga negara.
Konvensi ketatanegaraan tentang penundaan Pemilu sulit diciptakan. Apalagi orang awam dengan mudah akan menganggap bahwa ada “penyelewengan” terhadap UUD 45 yang dilakukan oleh Presiden.
Lihat juga video “Pedih! Jeritan Pedagang Seiring Harga Bahan Pokok Melambung Tinggi”. (youtube/poskota tv)
Sebaiknya Pemilu tetap dilaksanakan tahun 2024, tentu harus dilakukan penyederhanaan. Biayanya harus diperkecil. Demikian pula mekanisme atau prosedur pelaksanaannya. Pelaksanaan Pemilu 2024 secara digital merupakan salah satu solusinya. Biayanya lebih murah. Juga mengurangi risiko warga terpapar virus Covid 19 secara masif. (**)