JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Konflik Rusia dengan Ukraina dapat berdampak ke Indonesia. Seperti memperlambat pemulihan ekonomi Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha M Rachbini.
"Konflik Rusia-Ukraina yang memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi global akan mempengaruhi dan memperlambat pemulihan ekonomi terutama emerging market seperti Indonesia," kata Eisha M Rachbini di Jakarta pada Selasa (1/3/2022).
Jika konflik Rusia-Ukraina terus berlanjut maka membuat sejumlah negara melarang masuk komoditas Rusia. Seperti minyak bumi, nikel, aluminium, palladium, dan gandum.
Hal ini dapat meningkatkan harga komoditas dunia ke level yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Peningkatan harga minyak bumi pun dapat mengerek naik harga bahan bakar minyak (BBM) dan komoditas bahan pangan serta penting lain di dalam negeri.
"Pemerintah perlu berhati-hati dengan kenaikan harga minyak mentah dan gandum. Juga perlu menjaga kestabilan inflasi dengan menjaga harga BBM dalam negeri dan bahan-bahan pokok stabil dan tidak bervolatilitas tinggi," ucapnya.
Belanja pemerintah untuk subsidi energi pun dapat meningkat jika konflik Rusia dengan Ukraina terus berlanjut.
Pada Januari 2022 realisasi subsidi energi pemerintah telah mencapai Rp 10,42 triliun atau naik 347,2 persen year on year dari realisasi pada Januari 2021 yang sebesar Rp 2,3 triliun.
"Konsekuensi dari kebijakan counter cyclical, misalnya dengan intervensi harga atau pemberian subsidi, akan memberikan tekanan terhadap defisit APBN. Sehingga APBN perlu dikelola dengan efisien, dengan memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan mempertimbangkan menunda pemindahan ibu kota," katanya.
Terhadap pasar keuangan, dengan sanksi yang diberikan Amerika Serikat terhadap pemain pasar keuangan dan perusahaan teknologi Rusia serta kenaikan inflasi yang berpotensi lebih tinggi maka konflik Rusia-Ukraina dapat membuat Bank Sentral AS The Fed meningkatkan suku bunga ke tingkat yang lebih tinggi dari perkiraan semula.
"Hal itu dapat membuat nilai tukar rupiah terdepresiasi, terjadi capital outflow, dan dampak negatif kepada balance of payment. Di pasar keuangan, konflik juga dapat berdampak terhadap penyaluran kredit, dan kinerja korporasi," pungkasnya. ***