Hendaknya stigma semacam ini tidak terjadi. Kita, siapa pun dia dan adanya, apapun latar belakangnya,wajib sama – sama mencegahnya. Jika tidak, dapat memperuncing situasi, memicu silang pendapat tentang batasan toleransi yang tak berkesudahan. Yang rugi kita sendiri dalam hidup bertoleransi.
Yang hendak disampaikan adalah jangan sampai maksud tujuan untuk membangun toleransi, tetapi hasil yang didapat mencuatnya intoleransi.
Mari kita menyikapi kebijakan secara arif dan bijak, tetapi tidak kalah pentingnya ucapan dan perilaku para pengambil kebijakan.
Ada pepatah Jawa “Ajining diri dumuning saka lathi”- seseorang dihargai dan dihormati dari ucapan atau perkataannya.Perkataan dalam arti luas bisa berupa pendapat, pernyataan ataupun penjelasan. Artinya, siapa pun dia perlu berhati – hati dalam bertutur kata, berucap, berkomentar terkait kebijakan yang dikeluarkan atau merespons kebijakan yang dikeluarkan, termasuk soal aturan speaker masjid dan musala.
Aturan speaker saat mengumandangkan azan dapat diduga sudah mengundang kontroversi, apalagi ditambah dengan argumentasi dan analogi yang tidak tepat.
Berilah argumentasi, analogi yang menyejukan hati, bukan memanaskan situasi.
Para ahli agama berpendapat suara azan tidak bisa dibandingkan dengan suara lainnya, lebih – lebih dengan suara binatang, gonggongan anjing misalnya. Memang bukan bermaksud membandingkan, boleh jadi sebuah analogi, atau contoh, tetapi persepsi yang telah terbentuk demikian adanya.
Yang perlu, segera diklirkan. Jika dirasa kurang tepat, segera diluruskan. Jika keliru diperbaiki. Permintaan maaf adalah awal dari sebuah perbaikan. (jokles)