Tempe dan Tahu

Kamis 24 Feb 2022, 10:13 WIB

“Apapun alasannya impor komoditas pangan dan bahan pangan, lebih -lebih produk pertanian, adalah mau gampangnya saja. Selain kebijakan instan, juga tidak memihak kepada para petani “ - Harmoko
 
Mogok produksi tempe tahu, bukan hanya kali ini, tetapi hampir setiap tahun terjadi, setidaknya dalam tiga tahun terakhir. Boleh jadi mogok produksi akan terus terjadi setiap tahunnya, selama kedelai sebagai bahan baku utama masih tetap impor.

Tempe dan tahu adalah makanan favorit masyarakat Indonesia, dunia pun telah mengakuinya kenikmatannya. Tetapi masyarakat yang setiap harinya makan tempe tahu, bukan lantas menjadi “bangsa tempe” seperti pernah ditegaskan sang founding fathers, Bung Karno. Kita bukan lagi sebagai bangsa tempe. Kita sudah sudah digembleng di kawah candradimuka revolusi.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang hebat. Meski setiap hari makan tempe akan tetap kuat karena tempe mengandung banyak protein. Lagi pula perumpamaan itu muncul, di saat tempe dan tahu berlimpah dengan harga murah sehingga menjadi menu sehari - hari. Tiada hari tanpa tempe tahu.
Di zaman revolusi, tempe dan tahu cukup banyak tersedia, harganya pun murah meriah. Rakyat tiap hari makan tempe dan tahu tak pernah mengeluh, tak pernah ribut kekurangan tempe, apalagi sampai langka.

Kini,sudah sudah 76 tahun negeri kita merdeka, di era digitalisasi ini tempe tahu sebagai produk asli anak negeri, malah sulit dicari.
Penyebabnya, produsen tempe dan tahu mogok produksi karena mahalnya harga kedelai. Mengapa harga kedelai mahal? Jawabnya karena masih tergantung impor. Mengapa masih impor? Jawabnya karena produksi dalam negeri tidak mencukupi.

Ketika ditanya mengapa produksi dalam negeri tidak mencukupi?Jawabnya produksi kedelai dalam negeri setiap tahunnya hanya mampu menyediakan sekitar 300 ribu ton. Sedangkan kebutuhan dalam negeri antara 2 sampai dengan 3 juta ton per tahun.
Bukankah kita negara agraris, terletak di garis ekuator sehingga diikaruniai dengan lahan pertanian yang subur, ditanami apa saja bisa tumbuh,termasuk kedelai? Jawabnya peningkatan produksi terus dilakukan.

Tetapi sampai kapan, bisa swasembada pangan? Inilah yang masih sulit dijelaskan, sesulit mewujudkan swasembada pangan itu sendiri. Padahal sukses sebuah negara di bidang pertanian, jika mampu swasembada pangan, dan surplus untuk ekspor.

Dilihat dari luas pertanian saat ini, logikanya kita mampu swasembada pangan, bahkan bisa ekspor lebih banyak, yang hasilnya bisa memberi subsidi kepada para petani untuk meningkatkan produksi pangan.
Dasar - dasar pembangunan pertanian sudah dimulai, sejak lama, malah kita pernah swasembada pangan, setelah itu, yang terjadi impor lagi dan impor lagi.

Sementara impor adalah kebijakan kontradikitif, hanyalah instan dan alternatif, bukan solutif seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini. Impor mau gampangnya saja,meski jelas – jelas tidak memihak para petani.
Sementara, sebuah realita bahwa negara kita dikenal subur makmur. 

Dengan kesuburan tanahnya dapat memakmurkan rakyatnya seperti diistilahkan para leluhur sebagai negeri “Gemah ripah loh jenawi, toto titi tentrem kerto raharjo, tukul kang sarwo tinandur, murah kang sarwo tinuku” – negara yang subur Makmur dan tertata sesuai dengan hukum, serta tentram damai, ramai dan tumbuh yang serba ditanam, barang – barang murah akan dibeli.
Ini menggambarkan situasi yang harmonis, murah pangan sandang, kebutuhan sehari – hari. Rakyatnya hidup bahagia sejahtera.
Boleh jadi itu slogan, tetapi kesejahteraan rakyat adalah segalanya. Karena itulah tujuan negeri kita didirikan. Bahwa belum sampai ke sana,memang semuanya masih proses. Kita sedang bergerak menuju ke sana.

Tetapi gerakan harus dipercepat, kemandirian dan ketahanan pangan adalah hal yang utama, mati hidup bangsa. Pembangunan infrastruktur ke pelosok juga sangat penting untuk memeratakan hasil – hasil pembangunan, tetapi kebutuhan pangan rakyat menjadi lebih penting. Pangan bukan untuk masa mendatang, tetapi sekarang.

Saya berharap kesuburan tanah dan kekayaan alam luar biasa yang kita miliki, jangan biarkan bagaikan permadani sutra yang terhampar luas enak dipandang mata, tetapi belum sepenuhnya dirajut menjadi pakaian sutra untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa.

Berita Terkait

Maraknya Parpol Baru

Senin 07 Mar 2022, 09:49 WIB
undefined

Jangan Sekali-kali Membelokkan Sejarah

Kamis 10 Mar 2022, 07:29 WIB
undefined

Harga Melambung, Rakyat Limbung

Kamis 17 Mar 2022, 07:00 WIB
undefined

Berdikari di Bidang Ekonomi

Senin 21 Mar 2022, 07:00 WIB
undefined

News Update