Miris! Stok Kedelai Lokal  Tak Cukup Buat Produksi Tempe Tahu, Produsen Terpaksa Impor Walau Harga Mahal

Senin 21 Feb 2022, 09:17 WIB
Salah satu pabrik tahu di Utan Kayu Utara, Matraman, Jakarta Timur (Ardhi)

Salah satu pabrik tahu di Utan Kayu Utara, Matraman, Jakarta Timur (Ardhi)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID -- Ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor berdampak pada menjeritnya produsen tempe dan tahu lantaran harus membeli kedelai dengan harga mahal.

Mereka mesti membeli kedelai impor bahan baku produksi tempe dan tahu yang harganya kini mencapai Rp11.000 hingga Rp11.300 per kilogram dan diprediksi masih dapat melonjak sesuai harga global.

Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo), Aip Syaifudin menyampaikan, para produsen bukan tidak mau menggunakan kedelai lokal, tapi tak bisa.

"Kedelai lokalnya enggak ada (di pasaran). Produksinya sekitar 300 ribu ton satu tahun, sementara kebutuhan kita ini 3 juta ton satu tahun," ungkap Aip kepada wartawan, Senin (21/2/2022).

Menurut dia, hingga kini 2,6 juta kebutuhan kedelai Indonesia dalam setahun harus mengandalkan kedelai impor, sehingga saat harga global naik, produsen tempe dan tahu pun berdampak.

Padahal, varietas kedelai lokal disebut mempunyai kandungan gizi lebih baik ketimbang kedelai impor negara Amerika, Brazil, dan Argentina yang menguasai pasar global.

Aip menampik anggapan bila alasan produsen tempe dan tahu di Indonesia, tidak menggunakan varietas lokal sebab tak cocok untuk jadi bahan baku produksi.

"Cocok, cocok sekali. Padahal kedelai lokal gizinya lebih bagus dari kedelai impor, untuk tempe, tahu. Intinya kedelai lokal lebih bagus gizinya, protein, dan lainnya dari kedelai impor," ucapnya.

Kata Aip, masalah swasembada kedelai guna memenuhi kebutuhan produsen tempe dan tahu, sudah menjadi masalah lama yang hingga kini belum diselesaikan pemerintah.

Sejak lama pemerintah pusat melalui Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan pihak terkait lainnya, sudah membahas masalah ini, namun tak kunjung terealisasi.

"Usulan sudah dari zaman bahela. Jadi program swasembada kedelai itu program setiap Presiden begitu. Swasembada kedelai itu pernah tercapai tahun 90-an. Tahun 1989 sampai 1992," jelasnya.

Menurut dia, pada rentang waktu tersebut, produksi kedelai lokal bisa mencapai 2 juta ton dalam satu tahun dan mampu memenuhi kebutuhan produsen tempe dan tahu tanpa mesti impor.

Penyemban Indonesia hingga kini belum mencapai swasembada kedelai, lanjut Aip, sebab para petani enggan menanam kedelai yang dianggap bukan termasuk komoditas menguntungkan.

"Karena kalau tanam kedelai (lokal) satu hektare itu hanya sekitar 1,5 ton hasilnya. Dijual harganya itu sekarang kita beli antara Rp 6.500 sampai Rp 7 ribu per kilogram. Sehingga satu hektare itu hasilnya kira-kira Rp 10 juta," ujar Aip.

Bila petani menggunakan satu hektare sawah guna menanam komoditas lain seperti padi, maka dapat menghasilkan panen sekira lima sampai enam  ton, artinya keuntungan lebih besar.

Sedangkan pemerintah seolah hanya bisa mengimbau produsen tempe dan tahu menggunakan kedelai lokal ketika harga kedelai impor melonjak, tetapi tak mampu menggenjot produksi.

"Kalau tanah satu hektare ditanami padi itu bisa (panen) lima sampai enam ton. Kalau Rp 10 ribu (per kilogram) itu Rp 50 juta. Jadi petani lebih suka tanam padi, jagung, bawang, dan lainnya," imbuh Aip.

Terhitung Senin (21/2/2022) hingga Rabu (23/2/2022) produsen tempe, tahu di wilayah DKI Jakarta, Bodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur melakukan mogok produksi.

Langkah ini sebagai bentuk protes atas mahalnya harga kedelai impor yang gagal diatasi pemerintah karena pada tahun 2021 lalu hal serupa terjadi dan memaksa produsen mogok. (Ardhi) 

Berita Terkait
News Update