Oleh: Wartawan Poskota, Joko Lestari
SUDAH cukup. Jangan tambah beban, apalagi korban lagi. Itu kalimat yang tepat menyikapi konflik soal tambang, baik yang terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah maupun di Kecamatan Kasimbar dan Tinombo Selatan, Parigi Moutong, Sulteng.
Kalimat itu menjadi harapan kita semua, harapan yang akan menjadi kenyataan. Mengingat sekecil apapun konflik yang terjadi akan mencederai kehidupan bermasyarakat, lebih luas lagi berbangsa dan bernegara.
Lebih-lebih di tengah situasi masih sulit seperti sekarang ini, hal yang sejatinya kecil bisa menjadi besar, apalagi jika ada aktor yang ikut memainkan.
Kita sepakat provokator harus ditindak, jika cukup bukti ikut memanaskan situasi, membangun konflik lebih luas lagi. Tetapi, petugas dan aparat penegak hukum dari institusi manapun hendaknya bersikap bijak dalam menyikapi konflik yang terjadi.
Melakukan aksi, demo, dan menghalangi petugas tidak berarti melawan. Mereka melakukan aksi dengan penuh keberanian dan ketegasan, karena bentuk perjuangan mempertahankan kelangsungan hidupnya, sumber penghidupan keluarganya.
Dalam kondisi terdesak hidupnya, lazimnya setiap orang akan melakukan perlawanan menyelamatkan jiwanya dengan segala cara, sesuai dengan kemampuannya, sesuai dengan nalarnya dan situasinya.
Yang hendak dikatakan, penolakan tambang yang dilakukan warga baik di Desa Wadas, Purworejo maupun Parigi Moutong bukan berarti mereka melawan, tetapi bentuk aspirasi yang hendaknya disikapi lebih arif dan bijak.
Jika penolakan dihadapi dengan penolakan, tidak akan terdapat titik temu, apalagi cara menghadapinya dengan mengedepankan penyelesaian secara prosedural bahwa proyek tambang harus jalan.
Dengan pendekatan demikian, mereka yang bersikukuh menolak dipersepsikan dapat mengganggu proyek pembangunan, termasuk ketika warga Desa Wadas menolak kehadiran petugas yang hendak mengukur lahan untuk dijadikan tambang andesit.
Kita tahu tambang andesit di Desa Wadas akan dipergunakan sebagai material pembangunan Bendungan Bener. Sementara bendungan dengan nilai investasi Rp2,06 triliun ini merupakan proyek strategis nasional yang harus jalan. Proyek untuk masa depan bangsa, untuk kemajuan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, di masa yang akan datang.
Kita sepakat proyek strategis harus didukung, ini megaproyek yang mulia karena bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Tetapi proyek akan menjadi lebih mulia, jika tidak mengorbankan rakyat yang terdampak proyek. Jangan karena alasan demi proyek strategis, demi pembangunan, rakyat menjadi korban. Jangan karena soal tambang menjadi kian meregang.
Sekecil apapun jumlah warga yang menyalurkan aspirasi, wajib diapresiasi, kemudian dicarikan solusinya. Musyawarah dan mufakat tetap dikedepankan dalam menyelesaikan setiap masalah sebagaimana amanat falsafah bangsa kita, Pancasila.
Siapapun sepakat bahwa penegakan hukum harus tegas, tetapi humani seperti slogan yang selama ini didengungkan. Humani berarti menghargai setiap hak dan martabat warga negara di manapun berada, baik di desa Wadas, Jateng maupun di Parigi Moutong, Sulteng. Bertindak penuh dengan rasa empati, bukan mempertontonkan arogansi.
Di sisi lain, kehadiran pejabat negara untuk langsung menyelesaikan persoalan, bukan mewakilkan sangat diharapkan masyarakat. Ini bentuk keteladanan.
Lihat juga video “Puluhan Tahun Berdiri, Pabrik Tahu di Palmerah Jakbar Tutup Karena Pandemi”. (youtube/poskota tv)
Melalui keteladanan pejabat, dibarengi dengan sikap tegas, tetapi humanis, proyek strategis tidak akan menyisakan isak tangis kenelangsaan, tetapi tangis kebahagiaan. Semoga. **