Imajinasi Geopolitik Sukarno

Sabtu 12 Feb 2022, 07:00 WIB

Karena itulah apa yang berkaitan dengan apa dan bagaimana konsepsi Pancasila dan UUD 1945 yang benar, luput dalam diskursus reformasi. Situasi inilah yang menyebabkan betapa mudahnya perubahan sistem nilai dan praktek demokrasi menjadi reproduksi ala Amerika Serikat. Dalam proses tersebut peran dari National Democratic Institute dan International Republican Institute sangat penting. Merekalah pelopor reformasi kelembagaan politik. Bukan kebetulan Amien Rais yang berpendidikan di Amerika Serikat kemudian memberikan ruang yang begitu besar bagi bekerjanya the global reproduction of American Politics tersebut.

Ketika proses reformasi sudah menjadi euforia, hal-hal yang fundamental berupa koneksitas historis yang menggali keseluruhan mutiara konsepsi kenegarawanan para pendiri bangsa pun tidak digali lagi. Sementara itu, jauh sebelumnya, selama lebih tiga dekade Orde Baru, bangsa Indonesia sudah digelapkan sejarahnya dengan berbagai manipulasi sejarah.

Akibatnya pun fatal, reformasi bukannya menggali keseluruhan muatan stratejik tentang bangsa dan negara Indonesia, namun justru terseret pada arus liberalisasi yang semakin kuat. Tentu hal tersebut bukan kesalahan era reformasi semata karena reformasi terjadi pada situasi politik yang tidak stabil di tengah kesengsaraan rakyat akibat krisis moneter dan ekonomi yang begitu dahyat. 

Tinjauan lebih tepat terhadap akar segala persoalan krisis yang terjadi akibat Orde Baru telah memutus mata rantai historis dengan pemikiran para pendiri bangsa seperti Radjiman Wedyodiningrat, Bung Karno, Bung Hatta, Soepomo, Prof. Moh. Yamin, KH. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, AA Maramis dll.  

Daripada menggali pemikiran penuh kebijakasanaan tersebut, Orde Baru lebih asyik membelokkan sejarah dan merancang proyek de-Sukarnoisasi. Desukarnoisasi adalah proyek politik masif yang dijalankan secara sadar. Dalam prosesnya munculah kaum oportunis yang didorong oleh kepentingan praktis seperti adanya hasrat seorang rektor perguruan tinggi negeri untuk diangkat menjadi Menteri Pendidikan RI dengan “jasa” menghilangkan sejarah Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Inilah yang dilakukan oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto. 

 

Ilustrasi. (ucha)

Ketika atas kekuasaan, Indonesia melepaskan diri dari ide, gagasan, cita-cita, pemikiran, dan perjuangan Bapak Bangsa Indonesia dampaknya sangatlah fatal. Padahal keseluruhan pemikiran Bung Karno tentang bangsa dan negara Indonesia digali secara jernih dengan mensintesakan sejarah nusantara dan peradaban dunia.

Terlebih jika melihat bagaimana sejak usia 16 tahun Bung Karno sudah berjuang bagi kemerdekaan bangsanya dengan risiko keluar masuk penjara. Ketika semua dikubur, maka Indonesia pada masa orde baru pun bagaikan berdiri di atas tanah pasir yang setiap saat mudah tergerus gelombang sebagaimana halnya krisis moneter tahun 1987 yang berubah cepat menjadi krisis ekonomi dan krisis politik. 

Dengan setting keterputusan sejarah pendirian bangsa, dan dihilangkannya Sukarno dari sejarah kemerdekaan bangsa, maka ketika reformasi mengganti wajah dan praktek demokrasi Indonesia menjadi ala Amerika, lengkap sudah keterputusan sejarah itu. Indonesia pun bagaikan melangkah tanpa pijakan yang kuat dan gamang dengan masa depannya serta mudah terombang-ambing pada tarik menarik kepentingan global.

Dampaknya, Indonesia tidak lagi memimpin pergerakan dunia, tetapi menjadi alat bagi kepentingan bangsa lain sampai Vanuatu pun berani menggertak Indonesia di PBB. Akibat lebih lanjut, spirit, watak, dan karakter bangsa pejuang yang selalu mengedepankan kepentingan bangsa dan negara bergeser menjadi kepentingan pribadi dan kelompok. Sejarah selanjutnya mencatat bagaimana Reformasi mengukuhkan tatanan one man one vote one value, serta menghadirkan aktor di luar negara dengan nilai-nilai profesionalitas, independensi, dan transparansi, namun toh tetap digerakkan oleh kepentingan yang ujung-ujungnya adalah kapital.

Dalam masa reformasi itu, liberalisasi berjalan semakin dahyat ketika SBY memimpin selama 10 tahun dan menginisiasi sistem proporsional terbuka, yang diikuti liberalisasi perdagangan dengan bea masuk yang sangat rendah untuk impor pangan. Di sinilah kapitalisme dan liberalisme semakin melembaga. Terlebih ketika garis kebijakan luar negeri sekedar main aman dengan gagasan 1000 Friends, Zero Enemy.

Dalam kebijakan main aman ini, kepemimpinan Indonesia bagi dunia pun semakin kehilangan daya juangnya ketika politik luar negeri bebas dan aktif hanya dimaknakan sebagai politik netralitas. Pada jaman ini, kepemimpinan bagi dunia direduksi dalam inisiatif seminar internasional melalui Bali Democracy Forum, yang tetap tidak mampu mengangkat roh kepemimpinan Indonesia di dunia internasional.

Spirit kepemimpinan Indonesia muncul sebagai harapan ketika Presiden Jokowi mencanangkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Gagasan Jokowi ini tidak terlepas dari benang merah pemikiran geopolitik Sukarno yang sejak awal berteriak lantang tentang kepemimpinan Indonesia dengan me-leverage posisi geopolitik yang strategis di antara dua benua dan dua samudera. 
Namun upaya Presiden Jokowi tidaklah mudah.

Berita Terkait
News Update