ADVERTISEMENT

Imajinasi Geopolitik Sukarno

Sabtu, 12 Februari 2022 07:00 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Oleh: Hasto Kristiyanto

Dalam seluruh perjuangan para pendiri bangsa, imajinasi Indonesia Merdeka bukanlah sekedar merdeka dalam pengertian politik. Sebab, ketika atas nama bangsa Indonesia Bung Karno membacakan teks proklamasi, di dalamnya terkandung spiritnya kemerdekaan; pemindahan kekuasaan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya ke dalam pemerintahan negara Indonesia; dan penegasan kedaulatan wilayah Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke; hingga tekad untuk mampu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Di luar hal itu, kemerdekaan Indonesia juga memiliki imajinasi jauh, membentang luas menuju cita-cita umat manusia sedunia. Dalam bentangan cita-cita ini, para pemimpin bangsa khususnya Bung Karno bertekad agar Indonesia menjadi bangsa pemimpin. Syaratnya Indonesia harus berdaulat, berdiri di atas kaki sendiri, dan memiliki kepribadian yang membangun karakter bangsa pejuang, bangsa pelopor, dan bangsa yang terus mengasah harapan dan cita-citanya melalui rasa percaya pada kekuatan sendiri. 

Dalam proses menjadi pemimpin bagi dunia itu disadari pentingnya cita-cita bersama yang berakar dari Pancasila sebagai falsafah bangsa. Pancasila sendiri bukan lahir tiba-tiba. Ia lahir dari proses dialektika panjang yang mewarnai sejarah peradaban bangsa, baik sejarah dalam masa gemilang, maupun sejarah ketika masuk dalam alam kolonialisme.

Seluruh proses dialektik tersebut akhirnya menjadi kristalisasi nilai, falsafah, dan pandangan hidup, yang kesemuanya tidak pernah terlepas dari jati diri bangsa yang berketuhanan; mengedepankan pemahaman terhadap kemanusiaan; memiliki ikatan atas perasaan senasib sepenanggungan yang melahirkan konsepsi kebangsaan; serta kesatu-paduan rasa dengan tanah air Indonesia. Dalam jati diri bangsa itu terbangun cita-cita untuk mencapai kemakmuran bersama dalam suatu tatanan masyarakat Indonesia yang penuh dengan tradisi musyawarah dan gotong royong. Itulah Indonesia kita, Indonesia sebagai taman sari bagi dunia.

Namun dalam perspektif kepemimpinan dunia, telaah secara kritis diperlukan, dengan melihat keseluruhan spirit pada masa kepemimpinan Sukarno dan kemudian melihat realitas saat ini. Sekiranya penilaian dilakukan jujur dan obyektif, nampak bahwa kepemimpinan Indonesia pasca dijatuhkannya Bung Karno menunjukkan kemunduran, terutama dalam spirit, keyakinan diri, dan kemampuan menggalang bangsa-bangsa di dunia.

Kemunduran dalam kepemimpinan baik ke luar maupun ke dalam terjadi ketika Pancasila pada masa Orde Baru ditampilkan sebagai alat kekuasaan; alat pembenaran bagi segelintir elit yang mengklaim dirinya untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Pancasila saat itu menjadi alat penindas terhadap siapapun yang bersikap kritis.

Kenyataannya, dengan berkedok Pancasila, Orde Baru hanya melindungi kepentingan kroni kekuasaan Suharto melalui rancangan sistemik terhadap apa yang disebut budaya nepotisme, kolusi, dan korupsi (NKK). Ketika akumulasi NKK mencapai puncak terciptalah krisis. Kemudian solusi atas krisis juga tidak dilakukan dengan mencari jawaban, atau melakukan terapi ke dalam dengan menggali keseluruhan dokumen historis yang benar tentang apa dan bagaimana konsepsi Indonesia Merdeka.

Demikian halnya yang berkaitan dengan mengapa Indonesia bisa merdeka, dan bagaimana proses Indonesia merdeka itu nampak tidak masuk diskursus publik ketika reformasi terjadi. Padahal proses mencapai Indonesia merdeka dengan melawan kolonialisme Belanda disertai bangkitnya kesadaran yang menggelorakan cita-cita, heroisme; juga penuh dengan strategi, dan muatan pemikiran ideal dengan mengedepankan sikap kenegarawanan para pendiri bangsa. 

Alam reformasi diakui memiliki tugas penting guna membongkar watak kekuasaan Orde Baru yang otoriter, elitis, militeristik, dan penuh dengan praktek NKK. Namun dalam perjalanannya, alam reformasi juga menampilkan euforia ketika berbagai upaya pembongkaran tersebut ditunggangi oleh kepentingan lain yang berniat merubah sistem politik dan sistem ekonomi Indonesia dengan meniru praktek demokrasi politik dan sistem ekonomi ala Barat. Bahkan, sistem ala Barat itu dijadikan solusi baru sebagai jawaban otoritarianisme Suharto.  

Halaman

ADVERTISEMENT

Editor: Guruh Nara Persada
Contributor: -
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT