Gaduh IKN dan Kurangnya Silaturahmi

Senin 31 Jan 2022, 06:00 WIB
Replika Ibu Kota Negara Nusantara.(foto: ilustrasi/ist)

Replika Ibu Kota Negara Nusantara.(foto: ilustrasi/ist)

Oleh: Wartawan Poskota, Winoto

KATA silaturahmi kiranya lebih tepat untuk membicarakan masalah gaduh soal Ibu kota Negara (IKN) yang akan dipindahkan ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Ya, karena dalam silaturahmi itu, bukan saja terjadi komunikasi, tapi juga bicara dalam kedamaian, dan dari hati ke hati.

Gaduh tentang pemindahan IKN bisa terjadi karena memang urusan sangat besar tentang bangsa ini. Gaduh terjadi di berbagai tingkatan, ada yang pro dan kontra, meski keputusan politik sudah terjadi dengan disetujuinya RUU IKN oleh DPR pada 18 Januari 2022.

Hari-hari terakhir ini, gaduh IKN makin keras. Diskusi-diskusi para akademisi terkemuka, pihaknya yang menyatakan menolak cukup besar, kondisi masih pandemi Covid-19.

Gaduh yang paling panas tentunya hal yang terakhir, yakni rasa tersinggungnya warga Kalimantan oleh Edy Mulyadi yang menyebut lokasi IKN sebagai tempat Jin Membuang Anak.

Hal ini terjadi karena kurangnya silaturahmi, kurangnya saling bertemu untuk terjadi saling memahami antar budaya. Hal ini mirip dengan yang terjadi pada kasus Arteria Dahlan tentang Bahasa Sunda, yang kemudian membangunkan perlawanan di seluruh tanah Pasundan. Orang setingkat Arteria ternyata tak tahu sensitivitas budaya.

Kalau kita cermati, gaduh IKN ini mau tak mau bermula dari keinginan Presiden Jokowi yang tiba-tiba di depan sidang bersama DPD-DPR pada meminta izin untuk memindahkan IKN ke Pulau Kalimantan.

Kontan saja, kegaduhan mulai terjadi, hal ini karena secara sepihak Presiden Jokowi mengambil keputusan sendiri. Urusan negara ini teramat besar untuk diambil alih sendiri oleh Presiden. Bahkan, terasa kesan, dalam Bahasa Jawa, kang kinarsa, kudu cinipta (apa yang dikehendaki, harus jadi).

Kita sangat apresiasi niat Presiden untuk cepat membawa kemajuan, mengejar ketertinggalan, namun sebaiknya tidak “meninggalkan’ lembaga formal lain, syukur kalau memperhatikan pendapat-pendapat yang berbeda.

Kita punya tradisi silaturahmi dalam urusan kenegaraan, namun hal ini tidak dilakukan dari awal, silaturahmi dengan tukar pikiran, paling tidak dengan kalangan DPR, DPD, dan bahkan MPR. Kalau itu terjadi mengurani kesan Presiden jalan sendiri, dan kemudian terkesan juga memaksa DPR untuk menyetujui RUU IKN.

Aturan baku siapa pengambil keputusan untuk pindah IKN, memang belum kuat. Dulu bangsa ini pernah pindah IKN dua kali, yakni di zaman perjuangan.

IKN pernah pindah ke Yogjakarta, dan juga ke Bukittinggi, karena ada serangan penjajah Belanda. Saat itu jelas belum ada aturan siapa yang berhak memindahkan IKN. Rasanya, saat ini juga belum ada.

Itulah sebabnya, ketika Presiden Jokowi menyatakan ingin memindahkan IKN, tak ada argumen yang dilandaskan pada siapa yang bisa memutuskan memindahkan IKN.

Namun begitu, apakah keputusan harus dilakukan oleh Presiden sendirian? Sebab, kepindahan juga punya banyak aspek yang harus dibicarakan, harus banyak studi-studi kelayakan, dan bicara dengan publik, pun biaya yang begitu besar.

Baca Juga:

Pembahasan RUU yang terjadi bagi publik hanya sekedar mencari formalitas-formalitas untuk memenuhi ketentuan, karena seoleh dikejar target oleh Presiden.

Pemindahan IKN adalah membuat kota baru yang dikelola pemerintah dengan didelegasikan ke satu lembaga yang dibentuk dengan urusan sangat besar. Keinginan Presiden dengan cepatnya bisa dipenuhi jadi keputusan politik.

Nah, dalam hal ini bisa kita bandingkan dengan keinginan masyarakat yang ingin membentuk daerah otonomi baru, entah tingkat provinsi, kota atau kabupaten. Pada kenyataannya, ini sulit sekali direstui pemerintah.

Contoh seperti warga Sumbawa ingin ada provinsi Sumbawa, atau masyarakat Jonggol ingin membentuk Kabupaten Bogor Timur, atau warga yang ingin membentuk Kabupaten Bogor Barat, bertahun-tahun berjuang, tak ada hasilnya. Lain halnya dengan Presiden, hanya minta izin, langsung kesampaian.

Dari sisi ini, terlihat jauh kesenjangan dalam keputusan politik, usulan masyarakat yang bertahun-tahun susah terpenuhi, sedangkan usulan Presiden langsung jadi. Ini pula yang kiranya menyumbang gaduh IKN. Jadi, gaduh IKN ini karena juga kurangnya silaturahmi untuk membahas dengan rasa kebersamaan dan dari hati ke hati. (*)

Berita Terkait

News Update