Seperti misalnya, seorang kepala desa tanpa pelatihan tentang bagaimana cara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, dia harus mengelola dana desa senilai Rp1 miliar untuk pembangunan desanya. Hal ini tentunya akan melukai keadilan masyarakat, apabila dilakukan penindakan tindak pidana korupsi padahal hanya sifatnya kesalahan administrasi, misalnya kelebihan membayar kepada para tukang atau pembantu tukang dalam pelaksanaan pembangunan di desanya dan nilainya relatif kecil serta kepala desa tersebut sama sekali tidak menikmati uang-uang tersebut.
Contoh lainnya, seorang bendahara gaji membuat nilai gaji yang lebih besar dari yang seharusnya diterima oleh beberapa pegawai di suatu instansi pemerintah. Ini pun suatu maladministrasi, yang akan melukai keadilan masyarakat, jika kasus-kasus tersebut ditangani dengan menggunakan instrumen Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Oleh karena itu, kata Leo, Jaksa Agung mengimbau untuk dijadikan renungan bersama bahwa penegakan hukum tindak pidana korupsi pun harus mengutamakan nilai keadilan yang substantif selain kemanfaatan hukum dan kepastian hukum.
"'Upaya preventif pendampingan dan pembinaan' terhadap kepala desa oleh jajaran Kejaksaan atau inspektorat kabupaten/kota, menjadi hal yang sangat penting dan prioritas,” ujarnya.
Selain itu, upaya penyadaran kepada pelaku untuk secara sukarela mengembalikan kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatannya merupakan hal-hal yang meringankan apabila pengembalian kerugian keuangan negara dilakukan pada tahap penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di persidangan.
“Kejaksaan mengapresiasi jika terduga pelaku telah mengembalikan secara sukarela, ketika tim inspektorat telah turun dan menemukan kerugian keuangan negara sebelum tindakan penyidikan dilakukan oleh aparat penegak hukum, dan perkara itu sifatnya kesalahan administratif serta kerugian keuangan negara yang timbul juga relatif kecil,” ujarnya.
Leo mengungkapkan, untuk perkara yang model inilah Jaksa Agung mewacanakan dalam bentuk imbauan untuk ditangani dengan menggunakan instrumen lselain instrumen undang-undang tindak pidana korupsi.
“Imbauan Bapak Jaksa Agung RI bukanlah untuk impunitas pelaku tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara yang relatif kecil, tetapi wacana itu dibuka untuk dibahas ke publik agar penindakan tindak pidana korupsi pun berdasarkan pemikiran yang jernih atas hakikat penegakan hukum itu sendiri, yaitu pemulihan pada keadaan semula,” kata Leo.
Kedua, terkait perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara di bawah Rp1 juta, perkara tersebut tidaklah berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun terkait dengan upaya pemberantasan pungutan liar (saber pungli). Oleh karenanya, Jaksa Agung menyampaikan pada saat di DPR RI agar penanganannya diharapkan dilakukan secara profesional dengan memperhatikan hati nurani dan atau menggunakan instrumen lain selain Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Selanjutnya, ujar Leo, Jaksa Agung juga menyampaikan untuk perkara tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, Kejagung telah memberikan imbauan kepada jajarannya untuk tindak pidana korupsi yang kerugian keuangan negaranya di bawah Rp50 juta agar diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Sedangkan pandangan terkait analisis nilai ekonomi dalam tindak pidana korupsi juga perlu menjadi perhatian aparat penegak hukum, yakni dapat dibayangkan korupsi Rp 50 juta harus ditangani oleh aparat penegak hukum (dari penyidikan sampai dengan eksekusi) dengan biaya operasional penanganan perkara yang dikeluarkan oleh Negara bisa melebihi dari Rp50 juta dari kerugian Negara yang ditimbulkan tersebut.
Menurutnya, hal tersebut akan menjadi beban pemerintah, seperti biaya makan, minum dan sarana lainnya kepada terdakwa apabila terdakwa tersebut diproses sampai dengan eksekusi di lembaga pemasyarakatan (Lapas).