“Keadilan bukan sebatas soal ekonomi, juga masalah distribusi dan pelayanan sosial” - Harmoko
KEADILAN sosial bukanlah kehendak sekelompok orang, bukan pula keinginan mereka yang selama ini merasakan ketidakadilan. Bukan hanya cita-cita segelintir orang, tetapi banyak orang, cita-cita bangsa dan negara.
Tujuan kita bernegara adalah untuk menghadirkan keadilan sosial, bukan ketidakadilan sosial. Ini tersurat secara jelas dalam narasi Preambule UUD 1945 bahwa Indonesia merdeka karena didasari cita-cita luhur mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur .
Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan untuk melindungi segenap rakyatnya, memajukan kesejahteraan umum. Bahkan, di lingkup internasional pun ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kata “adil” selalu dicantumkan dalam setiap paragraf mukadimah UUD 1945, kecuali alinea ke-3 yang berisi pernyataan tentang kemerdekaan Indonesia.
Rumusan ini makin memperkuat kenyataan bahwa keadilan sosial adalah cita-cita luhur yang wajib dihadirkan, oleh siapa pun yang memimpin negeri ini. Tentu, bukan hanya tugas pemimpin dan para elite, tetapi tanggung jawab kita semua, siapa pun dia.
Lantas keadilan seperti apa yang kita kehendaki bersama sebagaimana cita-cita negeri kita? Jawabnya boleh jadi cukup beragam. Tetapi keadilan sosial itu bukan sebatas masalah ekonomi, meski persoalan ekonomi menjadi yang utama untuk mensejahterakan warganya.
Melalui kolom “Kopi Pagi"nya pak Harmoko menyatakan keadilan bukan sebatas soal ekonomi, juga masalah distribusi dan pelayanan sosial.
Itulah mengapa dalam tatanan negara dikenal “Norm of social justice” atau norma keadilan sosial, yakni aturan tentang keadilan dan distribusi sumber daya secara merata.
Tentu di dalamnya terdapat pemerataan distribusi sumber daya alam, kekayaan negara, kebijakan pemerintah, termasuk proses pelayanan negara kepada rakyatnya dalam segala aspek kehidupan.
Pelayanan dikatakan adil, jika tidak ada perbedaan perlakuan antara satu dengan yang lainnya. Jika yang punya kuasa, memiliki pangkat dan jabatan, mendapat perlakuan lebih cepat, ketimbang masyarakat awam biasa, cermin tiadanya keadilan dalam pelayanan.
Bantuan sosial disebut tidak adil, jika hanya diberikan kepada koleganya, kerabatnya, kelompoknya, orang – orang terdekat yang dikenalnya.
Begitu juga kebijakan disebut tidak adil, jika bersifat”koncoisme”, hanya menguntungkan sekelompok orang, bukan untuk kepentingan umum, apalagi sampai merugikan banyak orang.
Keadilan sosial dimaksud tanpa membedakan perlakukan terhadap seluruh rakyat Indonesia di tengah perbedaan yang ada. Setiap warga negara diperlakukan sama di hadapan hukum, sosial politik, sosial ekonomi dan keamanan.
Sama bukan berarti sama rasa dan sama rata, tetapi sesuai haknya, porsinya, yang telah menjadi bagiannya. Terjadi ketidakadilan, jika ada upaya mengambil hak orang lain.
Untuk mendorong terwujudnya keadilan sosial, selain sikap adil, juga perlunya menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, menghormati hak orang lain, suka menolong, tidak memeras orang lain, tidak boros dan bergaya hidup mewah. Tidak melebihkan, tidak pula mengurangkan, tetapi menempatkan sesuai porsinya.
Itulah keadilan sosial sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD 1945, yang hendaknya kita wujudkan bersama. Memulai dari diri kita sendiri untuk senantiasa bersikap adil, yakni tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak sewenang – wenang. Tapi proporsional dan jujur serta meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Marilah menjalankan “Iro yudho wicaksono” – menjadi satria yang berani berperang membela kebenaran, menegakkan keadilan dengan berlandaskan prinsip kebijaksanaan. (Azisoko*)