JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Beberapa waktu lalu, sebanyak 12 santriwati di Bandung, Jawa Barat, menjadi korban pelecehan seksual hingga berujung hamil dan melahirkan.
Kasus tersebut, tidak lain dilakukan oleh guru mereka sendiri yang ada di pesantren tempat mereka menimba ilmu.
Tak lama berselang, kasus serupa juga terjadi kembali di Cilacap, Jawa Tengah (11/12/2021) dan Depok, Jawa Barat (13/12/2021).
Namun, untuk kasus pelecehan seksual yang terjadi di Cilacap dan Depok, kasusnya lebih memilukan.
Di Cilacap, seorang guru agama tega mencabuli 15 anak didiknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
Kemudian, di Depok, belasan siswi usia SD juga mengalami hal yang tak jauh berbeda. Pelakunya, tak lain adalah seorang guru ngaji mereka sendiri.
Namun, menurut Ahli Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel.
Publik tak harus melulu berfokus dengan kasus pelecehan seksual yang marak terjadi di lingkungan pesantren atau yang dilakukan oleh guru mengaji saja.
Menurut Reza, publik juga harus berfokus pada kasus pelecehan seksual yang terjadi di tempat atau lingkungan lain selain pesantren.
"Kasus pelecehan seksual sebetulnya tidak hanya terjadi di lingkungan pesantren saja. Di lingkungan gereja misalnya, jumlah korban yang mengalami pelecehan seksual justru malah lebih besar," ungkap Reza kepada Poskota.co.id saat dihubungi melalui telepon (13/12/2021) malam.
"Untuk sekadar pembuktian, silakan ditanya ke Bang Tigor Azas Nainggolan terkait kasus pelecehan seksual yang terjadi di salah satu gereja yang ada di Depok," sambung dia.
Ia menegaskan, sangat tidak tepat apabila kasus pelecehan seksual di pesantren yang memang belakangan ini marak terjadi.
Dijadikan sebagai fokus utama publik dalam mengikuti isu pelecehan seksual.
Sebab, ujar dia, kasus pelecehan seksual bisa terjadi di lingkungan mana saja.
Bukan hanya pesantren, sekolah, atau pun tempat ibadah seperti gereja.
Perlu kewaspadaan dan kecermatan yang tinggi dalam menghadapi ancaman semesta tersebut.
"Jadi, saya rasa kurang tepat apabila publik hanya berfokus pada kasus pelecehan seksual di lingkungan pesantren saja. Tendensius rasanya apabila hal tersebut dinarasikan seperti demikian," imbuh dia.
"Saat ini yang paling relevan untuk dilakukan dalam menghadapi ancaman tersebut adalah berfokus dan meningkatkan kewaspadaan sekitar kita," sambungnya.
"Perlu digarisbawahi agar semua pihak bisa waspada, jangan sampai ada yang lengah, bahwa seolah kejadian semacam ini berlangsung di kelompok atau lingkungan tertentu saja. Kita perlu ingatkan publik tentang ancaman semesta itu," paparnya.
Untuk diketahui, Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel, pada sebelumnya menolak adanya hukuman kebiri pada pelaku pelecehan seksual.
Sebab, menurut dia, pemberian hukuman kebiri bagi predator seksual di Indonesia tidak diposisikan sebagai hukuman, melainkan sebagai perlakuan atau penanganan therapeutic.
"Itu jelas salah kaprah. Kebiri di Indonesia tidak diposisikan sebagai hukuman, melainkan sebagai perlakuan atau penanganan therapeutic. Jadi, bukan menyakitkan, kebiri justru menjadi pengobatan. Kalau masyarakat ingin predator seksual dibikin sakit sesakit-sakitnya, ya minta pengadilan untuk jatuhi hukuman mati saja. Kata Reza dalam keterangan tertulis yang diterima Poskota, Sabtu (11/12/2021).
Namun, kendati hukuman mati menjadi hukuman yang paling relevan untuk diberikan kepada predator seksual.
Reza mengatakan ada hal yang sebelumnya masih harus diperhatikan, yakni merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
"Tapi sebelum perlu direvisi dulu UU Tentang Perlindungan Anak terhadap UU Perlindungan Anak," jelas Reza.
Misal, ada yang protes kalau pemberian hukuman mati itu melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Saya hanya ingin katakan, tidak ada hukuman di muka bumi ini yang tidak melanggar HAM," sambung dia.
Tapi, imbuhnya. Apabila masyarakat tetap bersikeras ingin pengadilan menjatuhi hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual.
Terlebih hukuman tersebut diberikan secara paksaan. Maka bersiaplah menyambut lahirnya sosok predator mysoped (menjadi lebih buas melumpuhkan korbannya).
"Kalau dia dipaksa kebiri, bersiaplah kelak menyambut dia sebagai predator mysoped. Pemangsa super buas, super ganas, itulah dia nantinya," papar dia.
"Kebiri therapeutic itu mujarab? Ya, kebiri semacam itu menekan risiko residivisme. Tapi kebiri yang manjur seperti itu adalah kebiri yang dilakukan berdasarkan permintaan pelaku sendiri. Bukan keputusan sepihak dari hakim yang mengabaikan kehendak si predator seksual," tutup Reza. (cr10)