Gunung Semeru

Sabtu 11 Des 2021, 07:00 WIB

Dengan konektivitas historis itu, apa yang ada dalam mitos Ratu adil, terhubung dengan realitas Nusantara yang hebat ketika hadir sebagai suatu national staat yang merdeka dan berdaulat. Kesadaran inilah yang dibangun oleh Bung Karno, bahwa national staat baru bernama Indonesia ini akan terbentuk apabila dibangkitkan kesadarannya sebagai satu bangsa.

Satu bangsa memiliki perasaan senasib sepenanggungan. Satu bangsa memiliki satu cita-cita bersama. Satu bangsa adalah satu individualitet yang memiliki satu jiwa, dan satu bangsa yang memiliki kehendak untuk merdeka. 

Kehendak untuk merdeka ini bertumpu pada kaum pergerakan yang sebagian besar adalah para pemuda Indonesia. Pemuda yang memiliki kesadaran sebagai satu bangsa yang bertekad bulat untuk merdeka. Gelora semangat perjuangan pemuda-pemudi itulah kekuatan progresif yang mampu menjebol benteng kekuatan kolonialisme yang telah lama bercokol di Nusantara. 

Kekuatan bangsa yang sadar untuk merdeka dengan topangan energi pergerakan para pemuda Indonesia tersebut sangatlah hebat. Jauh lebih dahyat daripada letusan Gunung Semeru sekalipun. Kekuatan inilah yang harus dibangkitkan. Kekuatan yang berdiri kokoh atas dasar kesadaran masa lalu, menyadari berbagai persoalan saat ini, dan melahirkan energi untuk membangun masa depan yang jauh lebih hebat dari masa lalu. 

Energi yang lahir dari kesadaran itu tidak akan pernah melemah dalam berbagai ujian. Hal inilah yang dialami oleh Bung Karno ketika meringkuk di Penjara Banceuy dan Sukamiskin. Energi juang itu juga tidak surut ketika Bung Karno dibuang ke Ende dan Bengkulu. Justru di tengah penjara keterasingan itulah energi juang menjadi semakin menyala dan semakin mendorong kesadaran bahwa dari Sabang sampai Merauke adalah satu kesatuan kebangsaan Indonesia.

 

Ilustrasi. (ucha)

Dalam penjara dan keterasingan itulah Bung Karno berselancar menelusuri peradaban dunia melalui buku. Penjara dan keterasingan ternyata membuahkan begitu banyak berkah bagi kematangan pemikiran Bung Karno tentang falsafah dari Indonesia Merdeka, yakni Pancasila. Dalam keseluruhan proses itu nampak ungkapan kebenaran peribahasa “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. 

Peribahasa itu pula yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat di kawasan Gunung Semeru. Letusan Gunung Semeru memang membawa kesengsaraan. Rakyat di kawasan Semeru menjadi korban. Namun di tengah kesedihan mendalam akibat ditinggalkan sanak saudara, ataupun hilangnya harta benda yang terbenam tumpahan lava, harapan untuk kembali pada kehidupan normal tetap bersemi dalam kegundahan.

Letusan Gunung Semeru dengan seluruh deritanya, akan membawa berkah kesuburan bagi tanah-tanah pertanian. Letusan gunung Semeru pun melahirkan begitu banyak makna, mulai dari tanda-tanda perubahan jaman, hingga perubahan peradaban. Ada juga yang memaknakan bahwa letusan Gunung Semeru sebagai sinyal dari alam, ketika kebudayaan nusantara yang begitu indah dan beragam mulai banyak yang ditinggalkan.

Perubahan budaya ini sangat mencolok, seakan mengaburkan rekam jejak sejarah nusantara yang begitu kaya dengan model pakaian kebaya, kain tenun, hingga konde dengan bunga melati yang menghiasinya. 

Di tengah letusan, muncul juga cerita tentang perjanjian kuno. Dikatakan bagaimana ketika Islam masuk ke Nusantara diawali dengan adanya perjanjian leluhur, agar seluruh kebudayaan nusantara yang telah bersintesa sempurna, dan saling menyempurnakan, dapat tetap diabadikan, bukan dilenyapkan. Atas cerita ini ada yang mengaitkan bagaimana letusan Gunung Semeru seakan menjadi pertanda terjadinya perubahan kultur dan kebudayaan yang kini semakin meninggalkan adat istiadat Nusantara.

Semua cerita tersebut sah untuk hidup, termasuk bagaimana letusan Gunung Semeru yang dianggap keramat tersebut menjadi pertanda tentang perubahan dalam tatanan politik. Bagi kaum Sukarnois tentu saja berharap, agar perubahan tatanan yang disimbolkan dengan metelusnya Gunung Semeru diharapkan merubah tatanan politik yang kapitalistik liberal, menjadi tatanan yang lebih ideologis atas dasar Pancasila, jiwa bangsa. 

Seluruh cerita seputar meletusnya Gunung Semeru di atas dibenarkan menjadi perbincangan bebas di tengah pengungsian. Namun yang pasti, cerita tentang bantuan gotong royong mengalir dari seluruh negeri. Terbukti, bagaimana di tengah bencana, gotong royong, empati, dan perasaan welas asih terus berkumandang. Dan inilah cerita yang terpenting, bagaimana gotong royong hadir sebagai kultur nasional. Dengan gotong royong ini, rakyat yang menjadi korban dikuatkan.

Berita Terkait

Lomba Pencitraan

Senin 27 Des 2021, 06:30 WIB
undefined

News Update