Kasihan benar nasib Sayanto (40), dari Surabaya ini.
Sebagai tenaga lepas sebuah kantor, gajinya kecil. Maka dia merelakan istrinya, Dinik, 32, bekerja sebagai tenaga penjual produk kosmetik.
Tapi bosnya kasmaran, dan Dinik pun jadi korban “tenaga kuda”-nya.
Sayanto terhina dan istrinya pun diceraikan.
Suami itu kepala keluarga, dia wajib mencari nafkah untuk anak istrinya.
Tapi karena kondisi tertentu, posisinya bisa terbalik-balik; justru istri yang menafkahi keluarga.
Harga diri suami menjadi turun 50 persen, tereduksi oleh peran istri yang menjadi lebih dominan.
Suami model begini tak lebih jadi pemacek (pejantan) belaka, petentang-petenteng unfaedah, karena “prestasi”-nya hanya di atas ranjang.
Sayanto warga kota Surabaya, nyaris seperti itu. Dikatakan nyaris, karena ekonomi rumahtangganya belum separah itu.
Jelek-jelek begini dia masih punya penghasilan, meski kerja sebulan akan habis dalam seminggu.
Maklum, Sayanto bukan PNS, bukan anggota DPRD, apa lagi komisaris utama.