ADVERTISEMENT

Sudah Tepatkah Sistem Pilkada Kita?

Kamis, 25 November 2021 07:00 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

“Pemimpin yang baik lahir dari “rahim” rakyat. Merangkak dari bawah, tumbuh dan besar bersama rakyat. Bukan  ujug – ujug” – Harmoko

DUA tahun lalu, pernah mencuat wacana untuk mengevaluasi pilkada langsung. Alasannya, pilkada langsung menciptakan mahalnya biaya politik sebagai modal yang harus dikeluarkan calon peserta dan partai pengusung. Belum lagi terbukanya potensi konflik di tengah masyarakat selama pesta demokrasi lima tahunan ini.

Mengenai mahalnya biaya politik, sudah disinggung dalam tulisan sebelumnya, di antaranya berimbas kepada lahirnya kebijakan transaksional seperti jual beli kursi jabatan birokrasi hingga ke level bawah. Yang lebih ironi, kekuasaan kepala daerah telah tergadaikan kepada pihak ketiga yang membiayai pemilihan. 

Sebagaimana hasil penelitian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebanyak 82,6 persen calon kepala daerah pada pilkada serentak tahun 2017, dibiayai pihak ketiga (sponsor). Pada pilkada tahun 2018, sebanyak 70,3 persen calon kepala daerah yang dibiayai pihak ketiga.

Biaya yang cukup besar, juga dikeluarkan oleh daerah. Data Kemenkeu menyebutkan pada pilkada serentak 9 Desember 2020, menyerap anggaran sebesar Rp20,46 triliun.

Dengan rincian, sebesar Rp5,23 triliun berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk penyiapan protokol kesehatan selama pilkada terkait dengan situasi pandemi.

Sedangkan Rp 15,23 triliun ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memilih 270 kepala daerah. Artinya setiap daerah rata-rata menggelontorkan anggaran sekitar Rp56 miliar untuk memilih kepala daerah yang amanah.

Menjadi bahan renungan, apakah kepala daerah akan amanah, jika kekuasaannya telah tergadaikan. Akankah kebijakan sepenuhnya memihak rakyat, jika masih diwarnai pesan sponsor?

Inilah yang perlu dievaluasi dari pilkada langsung, jika hasilnya belum seperti yang diharapkan.

Yang pertama, sistem rekrutmen kader parpol sebagai calon kepala daerah yang berkualitas. Bukan saatnya lagi parpol tergiur kader ujug-ujug yang merasa mampu segalanya karena berhambur fasilitas, membawa banyak tas, tetapi minim kualitas dan loyalitas.

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT