Ironisnya kasus kawin kontrak ini difasilitasi oleh penduduk setempat dengan menyediakan jasa penghulu bahkan wali hakim jika sang perempuan tak disetujui orang tuanya.
Harta berkecukupan dengan pemberian uang bulanan serta bisa diajak jalan-jalan keluar negeri oleh suami kontraknya itu membuat kaum perempuan menjadi silau akan mewahnya kehidupan warga negara asing yang hanya tinggal sementara di Indonesia untuk urusan binis dan pekerjaan.
Bagaimana jika dalam kawin kontrak tersebut membuahkan keturunan, bagaimana dengan legalitas kependudukan dan hak-hak dasar anak seperti kebutuhan hidup dan hak pendidikan.
Berdasarkan data Komnas Perempuan, kekerasan yang mengakibatkan kematian perempuan alias femisida naik selama tiga tahun terakhir hingga melampaui 1.100 kasus per tahun.
Mengapa para pemuka agama dan tokoh masyarakat setempat terkesan melegalkan kebebasan seks? Hanya karena pundi-pundi uang dari warga negara asing yang nilainya cukup fantastis saat pernikahan kontrak digelar berupa mahar dan biaya lainnya yang mencapai ratusan juta rupiah.
Lihat juga video “Mesum di Taman Jatiasih Beaksi, Sepasang Muda-mudi Hebohkan Sosial Media”. (youtube/poskota tv)
Di sinilah peran masyarakat, para pemuka agama, MUI dan pemerintah untuk terus memberikan edukasi tentang dampak negatif dan risiko besar dari sebuah kawin kontrak kepada masyarakat Indonesia, khususnya daerah yang diduga menjadi pusat dari perkawinan kontrak.
Kementerian PPPA juga harus mengampanyekan tentang bahaya kawin kontrak atau nikah siri dan isu-isu lainnya yang menyertainya, seperti kekerasan terhadap perempuan dan anak sehingga hal yang tidak dingiinkan dapat dicegah secara dini. (*)