Politik berbiaya tinggi akan melahirkan perilaku korupsi.
Ini hasil kajian, juga pengakuan sejumlah kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Data KPK menyebutkan hingga kini terdapat 429 kepala daerah hasil pilkada yang terjerat korupsi.
Data lain mengungkap sepanjang semester I tahun 2021, sudah 10 kepala daerah (1 gubernur, 2 walikota dan 7 bupati/wakil) yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Dari pengakuan sejumlah kepala daerah yang tertangkap tangan, korupsi untuk mengembalikan secara cepat biaya politik yang telah dikeluarkan.
Biaya politik mahal melahirkan kebijakan transaksional seperti jual beli kursi jabatan bergengsi, misalnya kepala dinas.
Cara paling mudah dan cepat mendapatkan uang.
Hanya dengan mengandalkan gaji, pastinya tidak akan tercukupi. Sebut saja gaji bupati Rp6,5 juta plus uang prestasi dan tunjangan lain – lain di daerah makmur dengan PAD ( Pendapatan Asli Daerah ) di atas Rp7,5 triliun, sehingga total pendapatan per bulan sebut saja Rp100 juta, maka setahun Rp1,2 miliar.
Lima tahun Rp6 miliar, masih jauh dari modal yang dikeluarkan untuk menjadi bupati. Tentang hartanya, sulit juga karena kekayaan yang dilaporkan tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.
Tak heran, kekuasaan kepala daerah sering tergadaikan karena biaya pemilihan disponsori dulu oleh pihak ketiga alias "ngutang".
Hasil penelitian KPK terungkap lebih 80 persen calon kepala daerah dibiayai pihak ketiga, tentu dengan komitmen.
Setelah terpilih akan memenuhi apa yang diminta oleh penyandang dana, entah itu terkait proyek atau kebijakan tertentu yang menguntungkan investor pilkada.