Oleh: Hari Buhari, Wartawan POSKOTA
BARU-BARU ini Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan mengundang Seksi Wartawan Olahraga Persatuan Wartawan Indonesia (Siwo PWI) di Gedung Nusantara, DPR RI.
DPR RI khususnya Komisi X yang kini sedang menggodok tentang revisi Undang-Undang Sistem Keolahrgaan Nasional (UUSKN) Nomor 3 Tahun 2005 ingin meminta masukan dari Siwo PWI terkait isu krusial olahraga nasional.
Bagi Siwo PWI Pusat undangan ini tentu saja sangat membanggakan. Maklum selama ini belum pernah Siwo PWI Pusat diminta pendapatnya oleh DPR RI dalam menggodok Undang-Undang Keolahragaan.
Inilah moment menyatunya para wakil rakyat yang membidangi masalah olahraga dengan Siwo Pusat yang merupakan organisasi para wartawan fotografer olahraga yang saban harinya bergelut dengan olahraga di Tanah Air.
Rapat di Gedung Nusantara 1 itu dipimpin oleh Dr H Dede Yusuf Macan Effendi. Dalam RDUP yang bertajuk ‘Masukan Terhadap Isu Krusial/Permasalahan Keolahragaan’ diikuti 30 orang dari 52 Anggota Komisi X DPRI RI. Sedangkan pengurus Siwo PWI Pusat dihadiri oleh Gungde Ariwangsa (Ketua) dan beberapa anggotanya.
Dari 14 isu krusial tentang olahraga, salah satu yang disorot oleh DPR RI yakni soal tata kelola keolahragaan nasional.
Secara de jure maupun de facto dalam pembinaan olahraga (OR) prestasi ada Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI).
Namun dari ketiga pembina olahraga prestasi itu belum ada ketegasan lembaga yang bertanggungjawab.
Selama ini ada kesan saling tarik menarik soal pembinaan . Apalagi pemerintah dalam hal ini Kemenpora mempunyai wewenang yang sangat besar dan luas sesuai dengan ketentuan pasal 13 UU SKN yakni Kemenpora bertindak sebagai fasilitator, regulator, pendukung namun juga sebagai pelaksana dan pengawasan.
Jauh sebelum terbitnya UU SKN No 3Tahun 2005, KONI dan KOI masih dalam satu kesatuan. KOI adalah bagian dari KONI dalam mengurus kegiatan olahraga ke luar negeri misal olimpiade, Asian Games, ataupun SEA Games.
Namun setelah terbitnya UU SKN No 3 Tahun 2005, kedua lembaga tersebut berdiri masing-masing. Ujung-ujungnya timbul persaingan ataupun gesekan antar lembaga tersebut. Tentu saja akibat gesekan ini atlet juga yang rugi.
Contoh nyata adalah tidak dipertandingkannya cabang olahraga tenis meja dan balap sepeda di PON (Pekan Olahraga Nasional) Papua baru-baru ini. Kedua cabang olimpiade tersebut tidak dipertandingkan karena adanya dualisme kepengurusan di kedua cabor tersebut.
Padahal Indonesia pernah memiliki atlet tenis meja dan balap sepeda yang disegani di kawasan Asia. Seperti Anton Suseno, Sinyo Supit, Empie Wuisan, Ismu Harinto (tenis meja), Sutiono, Wahyu Hidayat, Johny Van Aert, Puspita Mustika, Nurhayati (balap sepeda)
Untuk ke depannya ada baiknya KONI dan KOI dipersatukan kembali sehingga tidak terjadi lagi gesekan maupun persaingan kedua lembaga dalam membina olahraga. (*)