“Untuk menopang kemandirian pangan, perlu adanya kebijakan yang memihak kepada petani sejati, bukan ‘petani berdasi'." - Harmoko
KEMANDIRIAN pangan hingga kini masih jauh dari harapan. Kemandirian pangan yang merupakan cita-cita luhur para pendiri negeri ini guna menciptakan ketahanan pangan nasional, belum seluruhnya terpenuhi.
Impor sebagian komoditas pangan dari negara lain menjadi satu indikator belum adanya kemandirian pangan. Semakin banyak komoditas pangan yang diimpor, mencerminkan kian jauh kita dari kemandirian.
Memang, secara keseluruhan Indonesia relatif mampu menjaga ketahanan pangan. Ketersediaan pangan di pasar memadai sehingga tak terjadi lonjakan harga.
Ini patut diapresiasi. Sayangnya, beberapa komoditas pangan masih tergantung pada impor, termasuk sebagai satu upaya menekan lonjakan harga. Sejak Januari-Juni 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia telah mengimpor pangan hingga US$6,13 miliar atau setara Rp88,21 triliun.
Komoditas pangan yang diimpor terdiri dari berbagai jenis, di antaranya mulai dari daging, susu, telur, gula, minyak gorengi,beras, kedelai, jagung, kopi, teh, garam hingga bahan pangan seperti cabai, bawang putih dan lada.
Beras yang diimpor misalnya sebesar US$91,6 juta dengan volume sebanyak 201.271,55 ton, gula sebesar US$1,49 miliar dengan volume 3,52 juta, garam senilai US$44,19 juta dengan volume 1,26 juta ton.
Belum kedelai mencapai US$873,33 juta dengan volume 1,51 juta ton. Jagung senilai US$99,85 juta sebanyak 376.478,48 ton. Cabai senilai US$59,47 juta dengan volume 27.851,98 ton. Bawang putih senilai US$196,21 juta dengan volume 181.106,24 ton.
Ini gambaran sebagian komoditas yang diimpor. Bukan hanya kali ini, tetapi beberapa tahun ke belakang juga dilakukan.
Acap dikatakan bahwa impor pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan khusus, memperkuat stok nasional.
Tetapi alasan itu makin memperkuat indikasi bahwa negara kita belum sepenuhnya mandiri memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, setidaknya terhadap produk yang diimpor. Dan tidak jarang impor dilakukan untuk "kepentingan" tertentu yang kita tahu sama tahu.
Sebagaimana UU No.18/2012 tentang Pangan, yang dimaksud “kemandirian pangan” adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai ditingkat perorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara bermartabat.
Maknanya, syarat kemandirian pangan, jika komoditas pangan diproduksi di dalam negeri; memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyat tanpa terkecuali; memanfaatkan sumber daya lokal secara bermartabat.
Lewat ulasannya di kolom “Kopi Pagi”, pak Harmoko sering mengatakan, jika produk lokal dengan sumber daya lokal sebagai primadona dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional, maka kebijakan di bidang pertanian, perlu adanya keberpihakan kepada petani sejati, bukan "petani berdasi”.
Lebih memberikan akses pasar, permodalan serta teknologi kepada petani kecil, dengan membatasi penguasaan sumber daya alam dan pangan kepada korporasi, konglomerasi maupun kartel.
Kalau bicara soal sumber daya alam kita, sangatlah melimpah ruah.
Indonesia dikenal sebagai negeri "Zamrud Khatulistiwa" yang oleh Prabu Jayabaya disebut sebagai negeri yang "gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja". Artinya negeri yang subur, makmur, sentosa, tenteram dan damai. Subur kang sarwa tinandur lan murah kang sarwa tinuku (tanahnya subur dan ditanami apa saja tumbuh. Serba murah dan terbeli oleh rakyat).
Tonton juga video Headline "Harian Poskota Edisi Senin 8 November 2021". (youtube/poskota tv)
Kalau untuk memenuhi kebutuhan beras 273,5 juta penduduk Indonesia, dengan lahan 7,46 juta hektar lahan baku sawah nasional, sudah dapat diproduksi 33 juta ton beras setiap tahunnya untuk konsumsi dalam negeri.
Belum lagi sekitar 30 juta lahan tidur dan tidak produktif yang tersebar di areal pegunungan lain dan kawasan hutan yang masuk dalam kawasan konsesi. Kalau setiap hektare digarap 1 petani, berarti sudah menghidupi 30 juta warga dan keluarganya. Belum lagi hasil produksinya dapat memperkuat kemandirian pangan non-beras, misalnya.
Yang diharapkan sekarang ini, adanya kemauan politis untuk mengolah dan mengelola kekayaan sumber daya alam sebegitu rupa secara bermartabat demi mewujudkan masyarakat yang adil makmur sejahtera, gemah ripah loh jinawi, sebagaimana cita-cita para leluhur negeri ini sejak dulu. Hal tersebut bukanlah mustahil dilakukan. Mari kita mulai! (Azisoko *)