KETIKA sulit mengungkap satu kejahatan, karena gelapnya bukti dan saksi, hingga petugas agak kesulitan. Apakah ada yang tiba-tiba datang ke petugas polisi dan mengaku; “ Saya pelakunya, saya yang membunuh!”
Kalau saja ada yang begitu, beres ya semua. Eh, kira-kira ada nggak ya pelaku kejahatan yang begitu? Mungkin ada, ya bisa seribu satu deh, artinya seribu orang yang melakukan, satu pelaku yang ngaku. Kecuali seorang pelaku yang identitasnya sudah dikantongi petugas, biasanya mereka akan datang menyerah dari pada jadi buronan? Nggak tenangkan?
Tapi buat kasus yang belum jelas tersangkanya, memang sangat sulit ada yang mau mengaku, malah kalau bisa nggak ada bukti yang bisa menjangkaunya sebagai pelaku? Dia, si pekau akan asyik-asyik saja menghindar dari perbuatannya.
Jangankan yang belum ada bukti, yang sudah jelas tertangkap tangan, seperti kebanyakan kasus korupsi, mereka masih mengelak. Dan bahkan menyalahkan orang lain. “Saya ini dizolimi! “ katanya.
Ya, kayak maling atau copet, sudah jelas tertangkap tangan, mereka akan teriak ketika kena bogem mentah dari massa,” Ampun Pak, Bukan saya. Itu dia orangnya yang lari. Saya cuma diajak!”
Jadi memang menentukan tersangka dalam satu peristiwa bukanlah hal yang mudah. Bagi petugas harus kerja keras mengumpulkan bukti-bukti, dan keterangan saksi. Kalau pun sudah nampak jelas, penyidik pun masih akan hati-hati, nggak mau gegabah. Boleh saja, masyarakat luas sudah nggak sabar, minta supaya cepat ada yang dijadikan tersangka dalam kasus yang sedang diperiksa. Tapi sekali lagi, petugas nggak mau gegabah. Jangan sampai sudah diajukan ke pengadilan tapi dibebaskan hakim, kan celaka.
Jadi jangan sampai karena desakan atau tergesa-gesa, orang yang nggak salah dijadikan tersangka. Karena, kata orang bijak, dalam hukum lebih baik melepaskan seratus orang yang bersalah, daripada menghukum satu orang yang nggak bersalah!
Masyarakat dalam melihat kasus, katakan seperti yang sedang berjalan di Subang, pembunuhan anak dan ibunya. Biarlah penyidik bertugas dengan teliti dan konsentrasi, agar tidak terjadi kesalahan sebagai ‘peradilan yang sesat’. Ingatkan puluhan tahun silam, kasus yang menimpa Sengkon dan Karta. Orang yang tidak melakukan perbuatan tapi harus mendekam di penjara?
Ya, sabarlah. Siapa tahu, seperti harapan yang disebut di atas, ada pelaku, yang benar-benar pelakunya, mau datang ke penyidik mengakui perbuatannya .” Pak saya pelakunya!” - Massoes