Kedua, dalam demokrasi elektoral, konsultan politik tampil memberikan jasa-jasa profesional dalam komunikasi politik, program pencitraan, survei politik hingga ikut terlibat dalam program strategis pemenangan Pemilu.
Konsultan politik ini dalam demokrasi elektoral menempati peran penting, namun implikasinya, biaya yang ditimbulkan untuk keseluruhan jasa profesional tidaklah sedikit. Ketiga, dalam demokrasi elektoral, pemilu dianalogikan sebagai perang demokrasi. Tolok ukurnya hanya kemenangan.
Cara dan bagaimana memenangkan “perang” cenderung mengeksploitasi segala hal selama bisa memenangkan perang. Hal itulah yang terjadi di DKI ketika Ahok-Djarot versus Anies-Sandiaga Uno. Semua isu elektoral dibenarkan, termasuk melakukan manipulasi psikologis berbagai hal terkait dengan primordial. Bagi konsultan politik, tanggung jawab etis terkadang dikalahkan oleh hasrat untuk memenangkan perang.
Keempat, demokrasi elektoral cenderung mendorong terjadinya transaksi antara investor politik dengan calon. Investor politik, yakni suatu kelompok kepentingan yang memiliki kekuatan modal, kemudian melakukan kerja sama dengan calon di dalam menyediakan sumber daya termasuk finansial bagi kepentingan mobilisasi pemilih untuk memenangkan calon.
Dalam prakteknya, investor politik ini menuntut adanya return atas investasi yang ditanamkan. Fenomena inilah yang terjadi mengapa begitu banyak kepala daerah yang ditangkap KPK. Semua tidak terlepas dari transaksi kapital antara kepala daerah dengan pemodal. Kelima, demokrasi elektoral mendorong konvergensi kepentingan antara politisi, pemilik media, pemodal, yang diintegrasikan dengan kapitalisasi kekuasaan politik atas hukum.
Hal inilah yang terjadi pada Pemilu tahun 2019, ketika ada Partai Politik yang cenderung mencaplok kader partai lain dengan intimidasi kekuasaan hukum. Bagi Partai politik tersebut elektoral adalah segalanya. Mereka tidak mempersoalkan adanya ”gado-gado kepentingan” sebagai konsekuensi pembajakan kader hanya dengan pertimbangan elektoral.
Karena itulah, berbagai pragmatisme politik dilakukan. Dimulai dari membajak kader Partai lain, merekrut mantan kepala daerah, istri kepala daerah, ataupun anak kepala daerah. Semua dilegalkan demi aspek elektoral.
Dengan perubahan yang sangat fundamental di atas, maka dalam demokrasi Indonesia terjadi paradoks. Dalam perspektif ideal, Pancasila menuntut demokrasi perwakilan atas dasar hikmat kebijaksanaan. Demokrasi Pancasila mengedepankan gotong royong, musyawarah, dan azas kolektivitas bagi kepentingan seluruh bangsa.
Sementara dalam praktek, demokrasi berwatak individual, liberal, dan sangat kapitalistik. Dalam paradoks ini, tatanan demokrasi mau tidak mau harus dibawa ke karakter sejatinya sebagai demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sebab demokrasi elektoral telah menimbulkan kapitalisasi kekuasaan politik dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya partai politik yang memiliki kesejarahan, ideologi yang kuat, kepemimpinan yang efektif dan mengakar, serta kultur kepartaian yang berpijak pada kekuatan grass-rootslah yang mampu bertahan. Namun dalam jangka panjang, ketika demokrasi elektoral ini dibiarkan terus hidup, yang ada adalah krisis sebagaimana terjadi di Amerika Serikat.
Demokrasi elektoral juga membawa jebakan populisme. Demi mendapatkan keuntungan elektoral, calon pemimpin berlomba-lomba menawarkan kebijakan populis melalui pendidikan gratis, pelayanan publik gratis, kesehatan gratis dan berbagai insentif sosial lainnya demi keuntungan elektoral. Bahaya populisme ini dalam jangka menengah dan panjang akan menjadi beban fiskal.
Di tengah berbagai persoalan akibat praktek demokrasi elektoral tersebut, relawan hadir. Fleksibilitas tinggi yang dimiliki relawan memungkinkan untuk melakukan berbagai manuver politik dengan dorongan berbagai kepentingan. Di dalam relawan banyak juga tersembunyi kekuatan indivual.