SERANG, POSKOTA.CO.ID - Masyarakat Banten yang religius dan moderat tidak antipati terhadap perbedaan yang ada di sekitar masyarakat.
Bahkan perbedaan itu sudah menjadi bagian dari keseharian warga Banten yang tidak bisa dipisahkan.
Untuk itu, di era digitalisasi ini masyarakat Banten diharapkan tetap kokoh terhadap tradisi dan budaya yang sudah terbangun sejak lama itu.
Jangan sampai karena sebuah perselisihan sedikit saja, kerukunan yang akrab itu menjadi hilang dan berubah menjadi sebuah perpecahan.
Hal itu dikatakan Asda I Setda Pemprov Banten, Septo Kalnadi dalam sambutannya pada acara launching gerakan kewaspadaan dini masyarakat untuk membangun narasi media dalam pencegahan radikalisme yang digagas oleh FKPT Banten, Senin (11/10/2021).
Septo mengungkapkan, di era digitalisasi ini arus informasi yang di dapat oleh masyarakat begitu cepat dan susah dibendung. Informasi itu sangat berbahaya apabila yang dikonsumsi mengandung nilai hasutan kebencian antar sesama.
"Itulah yang membuat paham radikalisme rentan masuk ke kalangan manapun," ujarnya.
Septo mengatakan, pencegahan ini menjadi agenda yang penting dilakukan mengingat keragaman budaya dan suku di Indonesia dan di Banten khususnya begitu banyak.
"Sebagai daerah dengan penduduk muslim terbesar, Banten memiliki banyak pengalaman hidup di tengah perbedaan, terutama dalam keragaman agama dan kepercayaan," ungkapnya.
Septo menuturkan, ilai-nilai agama menjadi bahan yang paling digemari para pelaku teror sebagai bahan penyebaran konten negatif serta nonton fakta.
Media sebagai penyampai informasi seakan bergerak liar, saling memanfaatkan.
"Dalam kondisi tersebut lemahnya literasi yang menyejukkan tentang keragaman dan perbedaan yang ada juga menjadi semakin marak dan menyebarnya virus radikalisme dan terorisme yang tumbuh subur di website dan akun medsos yang menyebarkan idiologi paham radikalisme," jelasnya.
Lemahnya literasi tersebut, lanjutnya, salah satunya disebabkan oleh kekurangan narasi pencegahan radikalisme dari media.
Oleh karena itu Pemprov Banten sangat mendukung kegiatan ini.
"Sebab di Banten tidak ada tempat bagi para pelaku radikalisme untuk berkembang," tegasnya.
Diakui Septo, menurut salah satu mantan narapidana terorisme, dulu perekrutan dilakukan secara langsung dan menyasar anak-anak muda.
Tapi sekarang pembinaan bisa dilakukan secara daring dan bisa langsung dijadikan sebagai pengantin istilah untuk pelaku teror.
"Jadi tanpa bertemu mereka bisa menjadi seorang pengantin," katanya.
Begitu pula pada kasus bom di gereja katedral Makassar, penembakan di Mabes polri beberapa bulan yang lalu tentu saja menjadi pembelajaran bagi kita semua bahwa tumbuh berkembangnya paham radikalisme di Indonesia semakin subur dan pengantinnya adalah kaum milenial usia 25-26 tahun
"Aksi terorisme bisa terjadi kapan dan dimana saja bahkan di Banten. Oleh karena itu kita harus meningkatkan kewaspadaan dini dan bersama-sama memerangi terorisme dan radikalisme yang sudah jelas bertentangan dengan nilai agama dan nilai luhur sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai kebhinekaan," ungkapnya.
Sehingga seluruh komponen bangsa menjadi salah satu faktor yang penting untuk mencapai keberhasilan dalam menanggulangi terorisme.
"Hal itu mengingat, negara melalui aparat pemerintah tidak bisa sendirian memerangi terorisme ini. Sehingga butuh keterlibatan semua pihak dalam melakukan upaya tersebut," tutupnya. (kontributor banten/luthfillah)