Jagad gedhe adalah keseluruhan alam semesta, makrokosmos dan jagad cilik merupakan semesta dalam diri, dunia nyata, mikrokosmos. Pandangan ini selanjutnya dibumikan ke dalam eksistensi manusia di dunia sebagai titik temu antara bumi sebagai ibu pertiwi, dan angkasa raya sebagai “bapa angkasa”.
Kesemuanya saling terhubung, membentuk jejaring spiritual. Dalam kehidupan bersama, jejaring sosial itu dihayati dalam kehidupan bersama yang saling menjaga satu dengan lainnya. Di sini kehidupan yang toleran, welas asih, dan gotong royong menjadi nilai yang hidup dalam tatanan sosial itu. Nilai-nilai sosial itu juga bisa dirasakan dalam bentuk hubungan sosial yang khas.
Dalam dunia kuliner misalnya, terdapat relasi sosial dimana aspek kerakyatan menjadi konsideran yang penting. Misalnya tersedianya varian menu yang menyesuaikan diri dengan kemampuan daya beli konsumen. Ketika daya beli seseorang terbatas sehingga tidak memungkinkan untuk membeli sepotong ayam, diperkenalkan solusi yang sangat cerdas, berdimensi sosial, dengan apa yang disebut “ayam suwiran”.

Ilustrasi. (arif)
Ayam suwiran adalah ayam yang diurai dalam serabut potongan ayam. Banyak sedikitnya ditentukan oleh kemampuan daya beli seseorang. Ayam suwiran ini sebagai unit potongan terkecil bagi seseorang untuk bisa menikmati ayam sesuai daya belinya. Dalam konteks ini, warung-warung rakyat ikut “memayu” konsumennya sehingga semua bisa menikmati, meski ukuran sosialnya berbeda-beda.
Pengejawantahan nilai memayu hayuning bawono sangat terasa dalam dimensi kuktural, dimana setiap warga memiliki tanggung jawab untuk memperindah alam raya. Dengan nilai itu, secara sosiologis, ketentraman dalam masyarakat juga diatur normanya, khususnya di dalam penanganan konflik.
Konflik dalam derajat tertinggi bukanlah pertarungan fisik. Hirarki tertinggi suatu konflik terjadi ketika seseorang sudah tidak saling bertegur sapa, atau disebut dengan “Jothakan”. Dalam konflik ini dimensi sosial kemanusiaan yang disentuh, dengan cara tidak diajak bicara.
Di Bali sistem sosialnya tidak jauh berbeda. Sama halnya dengan di Solo dan Jogja yang kental dengan tradisi “Slametan”, berbagai ritual spiritualitas agar selamat pun juga hidup di Bali. Di Bali, konsepsi tentang keseimbangan begitu hidup.
Kosmologinya didasari oleh Trihita Karana. Dalam pandangan ini, manusia akan mencapai kebahagiaan apabila mampu menghadirkan seluruh keseimbangan hidup, yakni manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan seluruh isi alam raya.
Trihita Karana menghadirkan keseimbangan dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah yang dihayati dengan menyatukan rasa dengan suasana kebatinan alam semesta. Tidak heran mengapa pohon-pohon pun dirawat eksistensinya.
Apa yang nampak dengan local wisdom yang mengatur tinggi bangunan tidak boleh melebihi pohon kelapa mengajarkan pentingnya kesadaran terhadap horison, cakrawala. Manusia tanpa tatapan horison yang membentang luas akan kehilangan daya imajinasinya.
Horison juga sebagai titik temu pandangan manusiawi dengan jalan transendentalnya dimana cakrawala dilihat sebagai mekanisme komunikasi batin dengan Sang Pencipta dalam perenungan yang diiringi dengan tradisi olah rasa.
Dengan berbagai uraian di atas, dapat dikatakan bahwa gambaran suasana kebatinan suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh falsafah, tata nilai, tradisi, dan juga sistem sosial kemasyarakatannya. Ketika berbagai aspek tersebut tercermin dalam perilaku kolektif masyarakat, hal tersebut akan menciptakan energi spiritualitas yang memengaruhi seluruh panca indera manusia yang hadir di wilayah itu. Inilah yang terjadi di Bali.