Bada Beralih Profesi Dari Tukang Becak Menjadi Nelayan 

Sabtu 09 Okt 2021, 07:10 WIB
Bada (54) salah satu nelayan di Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara. (Foto/Yono)

Bada (54) salah satu nelayan di Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara. (Foto/Yono)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Bada (54) sebelum mengais rezeki di tengah laut, ia pernah berjaya mengaspal di jalanan Jakarta Utara sebagai tukang becak. Selama lebih 20 tahun, Bada mengayuh becaknya di kawasan Kali Baru, Cilincing, Jakarta Utara.

Namun pada tahun 2007, sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Nomor 8 tentang Ketertiban Umum yang didalamnya tertulis larangan becak mengaspal di Ibukota, Bada terpaksa beralih ke tengah laut untuk mencari makan.

Peralihan pekerjaan ini harus dijalaninya lantaran saat itu, sekitar 17 tahun lalu, Satpol PP sangat gencar menggaruk becak-becak yang beroperasi di Ibukota.

"Saya dulunya tukang becak di Kali Baru, Cilincing, sempat 20 tahun. Setelah becaknya pada digarukin saya baru jadi nelayan," kata Bada.

Bada mengakui bahwa pekerjaan sebagai tukang becak lebih menghasilkan dibanding nelayan. Dulu dalam sehari dirinya bisa mengantongi uang hingga Rp200 ribu.

Ia membandingkan dengan kondisinya saat ini yang tengah melakoni pekerjaan sebagai nelayan. Disebutkannya, selama lebih dari 10 tahun, penghasilan menjadi nelayan sangat tidak stabil. 

"Ya memang banyakan dari tukang becak. Cuman namanya kita nyari uang, mau nggak mau kita lakoni aja," ucap Bada.

Pria berkulit sawo matang dengan ukiran tatto di lengan kanannya, mengatakan, selama dua minggu terakhir penghasilan melautnya merosot hingga 90 persen.

Biasanya kata pria gondrong itu, dalam semalam ia bisa menangkap ikan hingga 10 ton.

Namun, dalam dua minggu terakhir penghasilan melautnya anjlok hanya dapat ikan sekitar 1 ton.

"Kalau lagi normal ya 5-10 ton, sekarang mah satu ton, dua ton," ujarnya.

Bila sedang normal, sekali melaut kapalnya bisa mengangkut 10 ton ikan. Dari 10 ton tersebut bila di rupiahkan sekitar Rp10 juta.

Hasil itu kemudian dibagi bersama 8 teman lainnya setelah dipotong biaya operasional kapal.

Namun, bila ikan yang didapat sedang tipis, sekali melaut, hanya mendapatkan Rp1 juta dari hasil penjualan ikan.

Setelah hasil tersebut dipotong biaya ini dan itu, Bada dan rekannya hanya bisa mengantongi Rp50 ribu.

"Dibagi lagi, ada belanjaan lah Rp300 ribu, sama bosnya, paling saya cuma Rp50 ribu," jelas bapak dua anak tersebut.

Bada pun harus rela mengencangkan ikat pinggang agar bisa berbagi dengan anak istrinya di Kampung.

Bila penghasilan sedang normal, dua Minggu sekali, Bada mudik ke kampung halaman untuk berkumpul bersama keluarganya di Cirebon, sekaligus memberi jatah uang belanja.

Namun, sudah hampir satu bulan ini, Bada belum bisa pulang kampung, karena kondisi keuangannya sedang kembang kempis.

Meski begitu, Bada dan 8 teman satu kapal yang berukuran 8 GT, tetap telaten memburu ikan di perairan Teluk Jakarta.

Setiap hari, hampir seluruh nelayan di Muara Angke berangkat melaut dari sore dan kembali bersandar di pagi hari.

Paling jauh, kata Bada, kapalnya berlayar hingga ke wilayah Kepulauan Seribu, untuk mencari ikan.

Menurunnya hasil tangkapan ikan, kata Bada, dipengaruhi oleh cuaca yang tidak bersahabat. Angin kencang dan ombak tinggi menjadi hambatan para nelayan.

"Iya karena cuaca kadang anginnya dari selatan. Apalagi masuk musim ujan. Ntar nih kalau udah barat-an (angin barat) muncul lagi, sekarang lagi turun," pungkasnya. (yono)

Berita Terkait

News Update