Jaman Edan Pojok Betawi 

Minggu 26 Sep 2021, 07:00 WIB

DITIMPA sinar matahari siang, sebagian air permukaan laut di Pantai Mutiara, Jakarta Utara, berkilauan dan gemerlapan. Kamis siang, 23 September 2021, pantai itu terasa indah banget. Ini sebuah pemandangan di salah satu pojok Betawi.

Di pojok Betawi itu, saya, diundang Mas Dimas Azisoko makan siang dengan beberapa teman lainnya. Ketika saya memandangi gemerlapan air laut dan burung-burung putih berterbangan, sayup-sayup saya mendengarkan Mas Dimas Azisoko, putera bungsu Almarhum Pak Harmoko, mengucapkan sebuah nama :  Ronggo Warsito.

Suasana pantai itu semakin puitis dan mengesankan. Saya jadi ingat,  Almarhum H. Harmoko (seorang wartawan yang pernah menjadi mantan Menteri Penerangan, Ketua Umum Golkar, Ketua DPR, MPR dan Ketua PWI Pusat) yang mengagumi tokoh nasional dan pujangga Keraton Surakarta, Raden Ngabehi Ronggo Warsito  (lahir di Surakarta 15 Maret 1802 dan Wafat 24 Desember 1873).

Pak Harmoko sering mengatakan, ia menjadi wartawan dan penulis dengan belajar dari tulisan-tulisan Ronggo Warsito. Ronggo Warsito, di jamannya banyak menulis dalam bentuk puisi (tembang) dan prosa tentang situasi politik, sosial kemasyarakatan serta meramalkan situasi mendatang.

 

Ilustrasi. (ucha)

Salah satu tulisan R. Ng. Ronggo Warsito yang terkenal adalah kitab Kalatidha (Masa suram). Dalam tulisannya, ada kalimat yang terkenal sampai saat ini, yakni “Amenangi jaman edan” (mengalami jaman gila).

Kalau kita membaca buku  Hamoko  berjudul “Tantangan Pemerintahan 2014 - 2019” (terbit April 2014) terasa sekali, tulisan itu banyak mendapat inspirasi dari kitab Kalatidha (Masa suram atau jaman edan). Rasanya judul buku itu bisa diperpanjang lagi, “Tantangan Pemerintahan 2014 - Saat ini 2024 sampai  seterusnya).”  

Mas Dimas di pantai salah satu pojok Betawi itu juga bercerita tentang perjiarahannya atau lawatannya  ke makam Ronggo Warsito yang juga masih leluhur dari ibundanya Sri Romadhiyati Harmoko, di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, 10 kilometer tenggara kota Klaten, Jawa Tengah, akhir Mei 2021 lalu (empat bulan lalu), lima minggu sebelum wafatnya ayahanda.

Mas Dimas mendapat sebuah visi dari lawatannya itu. “Soal ontran-ontran, “ kata Mas Dimas lirih ditiup angin pantai. Ontran-ontran (gaduh, huru-hara, kacau) merupakan bagian dari “Kalatidha” (jaman edan). Untuk itu kita perlu makan buntil. Selamat siang “Pojok Betawi”.  (Ciamik)

Berita Terkait

News Update