Kebaya

Sabtu 25 Sep 2021, 07:00 WIB

Berbagai dokumentasi membuktikan bagaimana pada saat itu, di tengah konferensi, ketika saat rehat sedang berlangsung, banyak delegasi yang menggunakan waktu istirahat untuk beramah-tamah. Pada momentum itu, para relawan perempuan yang ikut bertanggung jawab menyajikan keramah-tamahan ala Indonesia, dengan senyum yang melengkapi tampulan kebayanya menghampiri para delegasi dengan lilin di tangan.

Cahaya lilin, selain menampilkan semangat KAA juga dipakai untuk membantu para delegasi menyalakan rokok. Maka yang terjadi adalah keajaiban, bagaimana para putri berkebaya berkeliling menyalakan rokok yang dihisap para delegasi. Ini nampaknya sentuhan sederhana.

Ilustrasi kebaya. (arif)

Tetapi itulah suprise dalam suatu konferensi. Dari situlah diciptakan suasana serba nyaman yang memungkinkan para delegasi berpikir jernih mengemban tanggung jawab bagi tata dunia baru yang bebas dari penjajahan. Kesan para delegasi pun begitu mendalam. KAA selain memenuhi seluruh aspek penyelenggaraan konferensi bertaraf internasional, juga kental dengan warna kebudayaan Indonesia. 

Keramah-tamahan para relawan yang tergabung dalam panitia sebagai Organizing Committee KAA telah memerluas makna diplomasi kebudayaan. Berbagai perdebatan politik yang sering terjadi begitu tajam, dikalahkan oleh semangat musyawarah di tengah Kota Bandung yang sejuk dan nyaman.

Demikian halnya, senyum khas para perempuan berkebaya menciptakan keramahtamahan yang sangat penting bagi pembulatan keputusan. Kebaya terbukti menjadi bagian alat diplomasi yang handal.

Kebaya Nusantara memang unik, menawan, dan hadir penuh cita rasa. Budaya berkebaya ini kini menghadapi aneka gempuran model pakaian ala barat yang serba praktis, maupun ala Timur Tengah. Budaya berpakaian pun mengalami dialektika, dimana aspek modernitas, simbolisasi keagamaan, dan fashion mode saling berebut pengaruh. Di sinilah apa yang disampaikan Sukarno dengan narasi “jadilah orang Indonesia sejati yang berkebudayaan Nusantara” kembali bergema. 

Kebudayaan Nusantara memiliki makna dan relevansi yang sangat penting. Terlbih di dalam era globalisasi yang sangat kompleks, dengan topangan komunikasi yang begitu aktif dan serba instan, peradaban modern cenderung mengalami penyeragaman. Namun di sinilah menariknya. Ketika dunia bergerak dalam fashion yang cenderung seragam, penguatan identitas kultural seperti melalui kebaya justru sangat diperlukan.

Hal itulah yang terjadi dengan kain Endek di Bali. Tampilannya yang unik, dan menjadi bagian dari identitas Bali, secara jeli ditangkap oleh rumah mode kelas dunia Christian Dior. Dengan spiritnya going global acting local, Dior menjadi pelopor perpaduan modernitas dalam kandungan budaya lokal.

Hal itulah yang mendasari mengapa Kain Endek Bali mampu dikemas sedemikian rupa dengan tetap menampilkan pesona tenun nusantara. Kain Endek Bali makin berdiri kokoh sebagai state of the art from the east. 

Apa yang terjadi dengan kepeloporan Christian Dior yang mengakui karya peradaban nusantara telah menggugah kesadaran bersama untuk mengangkat kembali seluruh khasanah tenun nusantara. Di dalam proses itulah, politik kebudayaan yang dicangkan Bung Karno untuk bangga dengan kebudayaan Indonesia sebagai pembentuk karakter bangsa kembali menemukan relevansinya.

Bagaimanapun juga, apa yang dikhawatirkan oleh para budayawan Indonesia atas berbagai bentuk penyeragaman dalam hal cara berpakaian, telah menempatkan tekad untuk kembali pada tradisi dan identitas nasional Indonesia. Bukankah setiap bangsa memiliki ciri kebudayaannya yang dibentuk oleh kondisi geografis, sejarah, falsafah, dan nilai-nilai yang hidup dalam peradaban suatu bangsa?

Karena itulah ketika Bung Karno pada tahun 1955 menampilkan kebaya sebagai alat diplomasi, maka kinipun kita bisa melakukan hal yang sama. Kebaya dengan seluruh tradisi kain nusantara dapat diangkat kembali guna menmpilkan identitas keIndonesiaan dengan seluruh ciri kebudayaan yang begitu indah dan berwarna. “Berikanlah melati bagi Ibu Pertiwi”, kata Sukarno.

News Update