TANGERANG, POSKOTA.CO.ID - Terkait penggunaan senjata api (senpi) Polres Metro Tangerang memastikan penggunaan senpi harus memiliki ijin khusus.
Namun, Pabuadi mengaku insiden tersebut terjadi karena refleks lantaran terpojok.
Kekerasan yang terjadi pada Minggu (20/9/2021) lalu ini menyebabkan Jopi Amir seorang calo interior mengalami luka sobek di bagian kepala.
Luka tersebut diklaim Jopi lantaran dipukul dengan senpi.
Kasubag Humas Polres Metro Tangerang Kompol Abdul Rachim mengatakan kepemilikan senjata api diperbolehkan dengan izin khusus.
“Tentunya pemegang senjata api harus ada surat ijinnya yang dikeluarkan oleh Dirintel,” kata Rachim kepada Poskota.co.id.
Namun saat ditanya ihwal penahanan atau pemeriksaan terhadap pelaku Rachim belum bisa menjawab lebih dalam.
“Laporan Polisi sedang dipelajari dulu. Saya sudah koordinasi dengan Kasat Reskrim,” tuntasnya.
Sementara itu Pabuadi mengatakan bahwa dirinya tidak sama sekali memiliki senpi seperti yang telah dilaporkan.
Namun demikian dirinya mengaku benda tersebut merupakan air soft gun.
"Engga ada itu senpi. Ini air soft gun atau tembakan mainan," jelasnya.
Namun demikian dirinya tidak menyangkal telah menggunakan senjata miliknya untuk memukul korban.
"Ia saya saat itu sedang mengantar ibu pakai motor, dan saya mendengar suara teriakan dari dalam. Terus saya kedalam ibu sudah di pegang tangannya, saya minta dilepaskan tapi tidak dilepaskan," jelas dia.
Menurut dia saat kejadian tersebut terjadi setidaknya terdapat lima orang di dalam ruangan yang sontak menyerang dirinya.
"Terus saya lihat ada besi disekitar makanya saya refleks mengeluarkan senjata itu dan memukul kepala untuk bela diri. Setelah itu mereka baru diam dan bilang salah paham," jelasnya.
Pabuadi mengaku setelah kejadian tersebut berlangsung kedua pihak langsung duduk bareng dan membuat surat pernyataan untuk tidak memperpanjang permasalahan ini.
"Kita sudah sepakat untuk tidak memperpanjang. Tapi mereka malah lapor, ya udah kita juga buat laporan," jelasnya.
Pabuadi menambahkan dirinya mengakui membawa air soft gun yang di klaim dibuat di Polda Metro Jaya dengan ijin pembelian.
Namun ironisnya dirinya mengaku tidak mengikuti latihan menembak.
"Punya saya. Engga (rutin nembak), Iya kepemilikan. Di Polda (ijin) dan senjata sudah saya serahkan ke Polres saat laporan, karena permintaan dari Polres sementara disita," jelasnya.
Saat kejadian tersebut dirinya mengklaim senjata itu dalam kondisi hampa atau tanpa peluru.
"Enggak ada kosong, Iya saya bawa dari Polda (asal air soft gun). Ngurusnya sama Polda
Dirinya juga mengklaim jika senjata tersebut dibeli dirinya dari salah satu orang di PMJ.
"Iya. Saya lupa (harga), satu tahun," jelas dia.
Bahkan dirinya mengaku selalu membawa senjata tersebut saat mengantar Epa.
"Iya bawa. Saya kan anter Bu Epa kemana mana juga, karena kan dia kungker kan keluar daerah, saya bawa itu kalo ke luar daerah aja dan posisinya ada di dalam tas," tuntasnya.
Kronologi
Anggota Komisi II DPRD Kota Tangerang Epa Emilia mengaku permasalahan ini berawal dari sebuah perjanjian untuk bisnis.
Saat itu korban Jopi Amir sebagai korban membuat surat perjanjian untuk menjaminkan satu buah sertifikat tanah hak milik atas nama Muhammad Idup bin Inang.
"Itu dengan waktu pengembalian 12 bulan plus kompensasi sebesar 300 juta saat perjanjian berakhir jadi saya semua menyanggupi. Yang dijaminkan kepada saya untuk mengeluarkan uang sebesar 1 Milyar dengan kompensasi 300 juta," ujar Epa Emilia.
Kata Epa angka tersebut diklaim Jopi untuk mengurus ijin sebuah klaster.
Selanjutnya ditengah perjanjian, kata Eva, Jopi Amir pun menawarkan pemasangan interior.
"Pemasangan interior dengan nilai 250 juta dengan estimasi waktu 3 bulan dari pembiayaan awal. Jadi kesepakatan nya pembayaran pertama DP 30 persen, pembayaran kedua 30 persen , pembayaran ketiaga 30 persen, pelunasan 10 persen selesai pemasangan," jelasnya.
Namun setelah pembayaran dilakukan hingga 90 persen rupanya Jopi belum menyelesaikan perkerjaan interior tersebut.
"Pembayaran yang sudah saya lakukan sudah 90 persen dengan nilai 225 juta , jadi sisanya 25 juta dan 10 persen sebagai garansi jika pemasangam interior sudah selesai karena waktunya itu 90 hari atau 3 bulan," ujarnya.
"Sudah 5 bulan belum sehelai batang pun tertempel di rumah saya, saya menanyakan hal itu pada bulan Juli, saya menanyakan hal yang sama di bulan Agustus, terakhir di awal bulan September saya menanyakan kembali hal yang sama kenapa belum terpasang satu batangpun dirumah saya interior itu," jelasnya.
Sampai akhirnya Epa mengaku melakukan pengecekan terhadap pekerja interior tersebut.
"Saya tanya kalau sudah menerima 125 juta berapa lagi kebutuhan nya agar terpasang potongan ini. Beliau jawab butuh dana 90 juta, sedangkan saya sudah bayar 225 juta tapi yang sampai kepada sodara pembuat furniture itu baru 125 juta . Bahkan beliau butuh 90 juta lagi agar terpasang," jelasnya.
Selanjutnya dirinya berniat menanyakan hal ini ke yang bersangkutan. Sampai akhirnya terjadi perselisihan.
"Setelah saya jumpa dengan Jopi dia bilang 175 lalu saya ingin tau buktinya, akhirnya perdebatan hingga berebutan HP tarik menarik, tangan saya terpelintir sampai saat ini pun sakit hingga sekarang," jelas Epa.
"Masuknya pak Buadi untuk lerai. Pak Buadi teriak tolong lepaskan tapi pak Buadi dihadang oleh anak buah Jopi Amir ramai-ramai di TKP hingga pak Buadi meronta, lalu terjadilah Baku hantam saat itu, saat itulah pak Buadi mengeluarkan pistol mainan yang dipukul secara reflek oleh pak Buadi yang mengenai wajah Jopi Amir yang sedang melintir tangan saya," tuntasnya. (Muhammad Iqbal)