NASIB Ny. Partini, 26, dari Lampung ini sungguh kasihan. Suami menghilang sejak setahun lalu, lalu ditolong oleh Marwoto, 40, secara ekonomi.
Tapi tak ada makan siang gratis di dunia ini, sehingga ketika Partini-Marwoto melakukan politik “empat kaki” digerebek warga. Solusinya, Marwoto harus menikahi Partini.
Almarhum KH Zainuddin MZ sering mengatakan, “Banyak janda yang perlu disantuni.” Sudah banyak orang memenuhi anjuran ustadz sejuta umat itu, dengan berbagai motif dan modus saat melakukannya.
Ada yang menyantuni sekedar kasihan, ada yang milih yang masih muda dengan tujuan untuk dinikahi.
Ada pula yang sekedar iseng-iseng belaka dengan motto: ada benggol pasti ada pula bonggol! Agaknya Marwoto termasuk jenis yang terakhir tersebut.
Warga Sri Bawono Lampung Timur itu “menyantuni” janda Partini karena motifnya sekedar untuk menikmati tubuh mulus janda muda yang sekel nan cemekel itu.
Jika dilakukan setelah menjadi suami istri, nggak masalah. Tapi Marwoto kelewat berani, baru jadi “dewan penyantun” sudan minta pelayanan ranjang.
Kisah ini bermula dari rumahtangga Partini yang tak bahagia bersama dengan datangnya Corona.
Beberapa bulan setelah Covid-19 masuk Indonesia, Kenthus, 30, suaminya menghilang tanpa kabar berita.
Bukan kembali ke rumah orangtua, tapi ilang secara misterius.
Dia bukan golongan lelaki yang suka nyinyir, dan kini juga bukan eranya Orde Baru. Maka kepergian Kenthus sungguh misterius.
Dengan anak dua ditinggal suami yang tak jelas alang-ujurnya, nasib Partini sungguh memelas.
Ekonomi sehari-hari jadi beban antar besan, karena selama ini hanya ibu rumahtangga biasa bukan pegawai yang ada gaji setiap bulannya.
Padahal kedua anaknya masih semega (doyan makan). Wanita semi janda itu kemudian kenal dengan Marwoto.
Sekali kenal dengan Partini, jantungngya langsung ndut-endutan.
Lebih-lebih ketika tahu suami hilang non petrus, lebih endut-endutan lagi.
Soalnya, lalu ada peluang untuk jadi suami pengganti. Lho, kan Marwoto sudah punya anak istri.
“Halah, istri kan tak pernah dibawa-bawa, jalan terus aja Bleh.” Kata setan memberi semangat.
Sejak itu Marwoto suka memberikan sejumlah uang, untuk meringankan beban ekonomi Partini.
Padahal dalam hatinya, dia ingin pula “membebani” Partini dengan tubuhnya, barang 30 menit atau 10 menit juga nggak papa.
Tapi itu, kan, target paling akhir, sekarang sih yang penting kasih bantuan ekonomi. Bukankah pemerintah juga sering memberikan BLT pada rakyatnya.
Setelah cukup sering memberikan BLT tersebut, barulah Marwoto menampakkan jati dirinya bahwa ingin budi dibalas dengan bodi, karena tak ada makan siang gratis kecuali buat pengungsi.
Partini sendiri juga sudah lama kesepian, akhirnya dia pun siap “dibebani” Marwoto yang selama ini jadi donaturnya.
Sejak itu Marwoto jadi sering ke rumah Partini di Mataram Baru dalam rangka BLT dalam arti: Beri Langsung Timpe.
Dia datang pukul 21:00 dan pulang sekitar pukul 24:00. Lumayan lama juga, kalau perlu bisa tanding ulang.
Dan paling menarik, saat datang gayanga seperti wayang Arjuna, setelah pulang berubah seperti Cakil, maklum habis diservis total.
Tapi lama-lama tetangganya ada yang mencermati kedatangan Marwoto yang selalu tengah malam itu.
Maka bersama Pak RT beberapa hari lalu dilakukan penggerebekan.
Karena tak ada kesempatan kabur, Marwoto hanya menyelinap ke bawah kolong ranjang dengan pakaian seadanya.
Awalnya para penggerebek kehilangan jejak, tapi ketika dibaterai, tampaklah kaki lelaki di bawah ranjang.
Langsung saja ditarik. “Mau kabur ke mana? Habis main “empat kaki” mau ngumpet lu ya?” Hampir saja ada yang mau menghajarnya, tapi berhasil dicegah.
Disaksikan petugas Polsek setempat, Marwoto-Partini disidangkan.
Ada wacana untuk menikahkan saja mereka. Dengan Partini tak ada masalah, tapi dengan istrinya di rumah?
Orang disuruh nyantuni, malah dikeloni. (GTS)