Tawuran Kejahatan Serius

Selasa 24 Agu 2021, 06:23 WIB
Tiga pelaku tawuran Johar Baru yang berhasil diringkus jajaran Polsek Johar Baru. (foto: cr-05)

Tiga pelaku tawuran Johar Baru yang berhasil diringkus jajaran Polsek Johar Baru. (foto: cr-05)

Oleh Yahya Abdul Hakim, Wartawan Poskota

SEORANG remaja meregang nyawa di tangan sejumlah warga yang terlibat bentrok dengan sekelompok geng motor di Desa Karang Sambung, Kecamatan Kedung Waringin, Kabupaten Bekasi pada Minggu (22/8) dini hari. Remaja berinisial KA itu merupakan salah satu anggota geng yang terlibat bentrok.

Ia menjadi bulan bulanan massa setelah tertinggal dari rombongannya. Selain KA, seorang remaja lain juga tak luput ikut diamuk warga hingga dikabarkan kritis.

Tewasnya KA menambah daftar korban meninggal dalam peristiwa tawuran yang belakangan kerap berlangsung di DKI Jakarta dan sekitarnya seperti Bekasi, Depok dan Tangerang.

Catatan Poskota dalam sepekan terakhir setidaknya tiga nyawa melayang termasuk KA. 

Sebelumnya di Johar Baru, Jakarta Pusat, pengemudi ojek online (ojol) bernama Indra Mayu (51) juga tewas di tangan pelaku tawuran saat pria paruh baya itu mencoba melerai bentrokan yang terjadi di Jembatan Kota Paris, Johar Baru, Jakarta Pusat, Senin (16/8) dini hari.

Indra Mayu menemui ajal akibat luka bacok di bagian tubuhnya.

Selang beberapa hari, giliran EBK (17) yang tewas dengan kondisi mengenaskan saat terlibat tawuran antara kelompok korban dengan geng remaja lain di Jalan Bangka XI, Pela Mampang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan pada Kamis (19/8).

Saling ejek lewat media sosial menjadi pemicu bentrokan maut tersebut.

Jatuhnya korban tewas di setiap peristiwa tawuran yang terjadi menegaskan kejadian itu bukan kejadian gangguan kamtibmas (keamanan ketertiban masyarakat) semata atau kenakalan remaja biasa mengingat kualitas jatuhnya korban dalam peristiwa itu.

Tidak berlebihan jika tawuran disebut sebagai kejahatan serius yang mesti pula ditangani dengan serius oleh aparat terkait.

Di setiap terjadinya tawuran, di situ terlihat berbagai macam tindakan kriminalitas (multicrime) di antaranya penggunaan senjata tajam, aksi pengeroyokan, penganiayaan, pembunuhan dan penyalahgunaan narkoba.

Di sisi lain ada juga persoalan sosial seperti tekanan hidup yang semakin berat dan menganggur, sehingga memilih melampiaskan lewat tawuran.

Cara-cara persuasif perjanjian damai antara dua kelompok yang berkonflik sudah tidak lagi ampuh menghentikan tawuran. 

Langkah tersebut hanya bersifat simbolis seremonial, yang dalam sekejap dilupakan lalu kembali ‘bertempur’ demi harga diri.

Yah, tawuran tidak mencari materi namun eksistensi kelompok atau wilayah yang mereka cari.

Suatu ‘kebanggaan’ bagi individu atau kelompok ketika ada lawan yang terluka bahkan tewas di tangan mereka ketika bentrok.

Proses hukum bagi pelaku yang tertangkap terkadang hanya sebatas vonis yang tidak sesuai. 

Tidak sampai dua tahun sudah kembali bebas, bergabung kembali dengan geng atau kelompoknya yang kian disegani lawan atas ‘prestasinya’ itu.

Penanganan serius atasi tawuran mesti melibatkan berbagai pihak karena fenomena ini bukan urusan tindak kriminalitas saja.

Kolaborasi kepolisian dengan pemerintah daerah sejatinya mampu menekan bahkan menghilangkan ‘tradisi’ tawuran.

Tawuran bisa dihindari ketika aktifitas masyarakat terkonsentasi terhadap kegiatan positif semisal bekerja dan sekolah dan itu tugas pemerintah untuk menciptakan agar bisa dilakukan warganya. 

Sementara ketika terjadi tawuran yang menimbulkan korban baik luka maupun jiwa, aparat hukum punya peranan untuk memprosesnya, vonis sesuai dengan pasal yang berlaku bagi pelakunya.

Berita Terkait

News Update