Oleh Irdawati, Wartawan Poskota
PANDEMI Covid-19 sudah hampir dua tahun mendera bangsa Indonesia. Semua sektor dan semua lini merasakan hantaman pandemi.
Selama itu pula rakyat menderita. Seluruh elemen bangsa bahu membahu perang melawan virus corona dengan strategi dan ‘senjata’ masing-masing guna memutus mata rantai penularan.
Mulai dari langkah pencegahan hingga penanganan kasus positif, seluruh elemen berkontribusi sampai level masyarakat terbawah.
Gugus tugas RT/RW, relawan, Karang Taruna hingga ibu-ibu PKK memiliki jasa membantu menangani Covid-19. Mereka semua pahlawan, mereka semua berjasa untuk negeri ini.
Dari seluruh elemen yang terlibat, kita tidak bisa menafikkan begitu besarnya pengorbanan tenaga kesehatan (nakes).
Sejak awal pandemi pada Maret 2020, nakes menjadi garda terdepan dan penjaga gawang terakhir mulai dari pencegahan, menangani pasien hingga proses vaksinasi.
Risiko tugas mereka begitu besar. Waktu untuk diri sendiri dan keluarga tak lagi dipikirkan, jiwa dan raga pun dipertaruhkan.
Kita jangan bertanya berapa jumlah nakes baik dokter maupun perawat, serta para relawan yang terpapar Covid. Kita balik, berapa jumlah dokter dan relawan yang belum pernah terpapar.
Karena realitanya, hampir semua dokter dan perawat di rumah sakit hingga puskesmas pernah terpapar Covid-19, isolasi mandiri, dirawat di rumah sakit, dan tidak sedikit yang menghembuskan nafas terakhir, gugur dalam tugas.
Bahkan tidak seidikit keluarga mereka tertular dan meninggal dunia. Data yang tercatat di LaporCovid-19, hingga akhir Juli 2021 sudah 1.511 nakes di berbagai daerah gugur.
Rinciannya, 545 dokter, 495 perawat, 243 bidan, dan sisanya terdiri dari dokter gigi, apoteker, farmasi, petugas ambulans dan lainnya.
Belum lagi relawan, pengemudi mobil sekolah yang ditugaskan membantu membawa pasien Covid-19 dan petugas lainnya.
Data di atas sebagai gambaran betapa pengorbanan nakes sungguh luar biasa. Di saat situasi genting, di mana para pegawai terutama di DKI Jakarta diwajibkan kerja dari rumah (work from home/WFH) dengan kondisi lebih aman, nakes berada di garda terdepan dengan risiko tinggi.
Bahkan hak libur mereka di hari Sabtu juga terampas. Sayangnya nakes acapkali dipandang sebelah mata. Tenaga terus digenjot, tetapi hak mereka kerap diabaikan.
Sebagai contoh, nakes di DKI ‘dilarang sakit’. Karena bila sakit dan tidak masuk kerja, cuti tahunan dipotong. Artinya, ketika terbaring sakit di rumah, dianggap cuti.
Tak sedikit kasus nakes terpaksa tetap bekerja meski kondisi tidak fit. Dampaknya, mereka terpapar Covid-19. Kebijakan ini sesungguhnya tidak bijak.
Kini pemerintah sedang mendorong percepatan vaksinasi. Nakes pula yang digenjot mengejar target jumlah warga yang divaksin.
Sungguh tidak ternilai jasa mereka. Keringat terkuras, ancaman tertular Covid-19 mengintai, tetapi semangat mereka tetap berkobar.
Itu sebabnya penghargaan yang tinggi harus diberikan kepada para pahlawan kesehatan. Mereka tengah berjuang untuk negeri ini, mereka berperang memerdekakan negara ini dari pandemi Covid-19.
Karenanya selain hak-hak nakes harus diistimewakan, mereka layak dapat bintang.**