Oleh Winoto, Wartawan Poskota
MUNGKIN saat ini bicara dunia buzzer mendapat momentumnya. Ini berangkat dari kerisauan banyak orang terkait tingkah polah buzzer di media social (medsos) yang menimbulkan panasnya suasana, dan lebih dari itu mengganggu keakraban bermasyarakat dan bahkan berbangsa-bernegara.
Dikatakan mendapat momentumnya, juga karena ada berita yang terkait dengan dunia buzzer, yakni di-suspend-nya oleh penyelenggara medsos, beberapa akun tokoh yang dikenal sebagai buzzer terkemuka.
Entah masalahnya apa, namun kalau penyelenggara medsos memberi tindakan, kiranya ada masalah. Di luar itu, diharapkan dengan adanya tindakan seperti ini bisa menyadarkan pihak tokoh yang bersangkutan, dan juga followernya, agar bisa mengubah perilaku dan cara berpikir, yakni untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan kelompok saja.
Akan lebih baik kalau melupakan dunia buzzer itu, kemudian membuka tindakan dan cakrawala yang lebih positif yang bisa merajut keakraban kembali sesama anak bangsa, untuk persatuan dan kesatuan.
Sebab, dunia buzzer di negeri ini, lebih terasa sebagai kepentingan kelompok, yang kemudian ada kelompok lain, sehingga berhadap-hadapan, pada gilirannya membuat keterbelahan.
Belakangan, buzzer seperti tokoh panutan bagi kelompoknya, apa pun yang dilempar di medsos di-amini, menjadi viral, karena isinya untuk menghadapi kelompok sebelah.
Buzzer sudah barang tentu berdiri sebagai penyuara dari satu kelompok, dan memiliki pengaruh di medsos. Sebab, buzzer adalah orang yang memiliki pengaruh tertentu (konon juga memang dibayar) untuk menyatakan suatu kepentingan. Diduga banyak yang untuk agenda yang disetting.
Mereka berdiri sebagai orang perseorangan tetapi jua bisa kolektif yang mendukung opini suatu isu.
Tapi, pada prakteknya belakangan ini, dunia buzzer terasa menjengkelkan, dalam menghadapi isu atau lawan sering seenaknya, melakukan tindakan ngawur, seperti halnya tawuran antar kelompok.
Dalam tawur itu apa saja yang di dekatnya dilemparkan, dijadikan senjata. Begitu juga tawur buzzer apa yang ada di lintasan pikiran langsung dilemparkan tanpa pikir panjang.
Dunia buzzer modal ngotot, tidak mengandalkan pikiran jernih, tak memikirkan dampak luasnya. Tidak berani mengangkat kebenaran di pihak lawan, dan tidak berani mengakui kelemahan kelompoknya.
Dunia buzzer yang kita kenal di negeri ini menampakkan keterbelahan masyarakat, yang di belakangnya lebih banyak bermotif politik. Padahal politik adalah persepsi, bukan kebenaran sejati. Tapi dalam dunia buzzer dibela mati-matian, demi kelompok atau pihaknya.
Lebih spesifik lagi, seakan dunia buzzer menampakkan kelompok pro penguasa (Jokowi) dan kelompok oposisi, meski tidak semuanya seperti itu.
Dunia pendengung ini selalu menyerang lawannya, juga tokoh-tokoh bersuara bernada memberi kritikan. Itu datang dari kedua belah pihak.
Beberapa waktu lalu tokoh Buya Syafii Maarif (anggota) BPIP meminta pemerintah tidak usah menggunakan buzzer buzzeran. Pemerintah dan oposisi sebaiknya membangun budaya politik yang lebih arif.
Kiranya, kita makin bisa melihat, manfaat buzzer itu makin tidak relevan bagi kehidupan berbangsadan bernegara, karena mereka banyak berdampak membelah persatuan dan kesatuan.
Hal negatif dari dunia pendengung seperti itu, selain membuat keterbelahan masyarakat, juga memunculkan ‘tawur’ di medsos.
Pada bagian lain, buzzer dan pengikutnya, makin tak menghargai pendapat pihak lain. Juga, mengendurkan yang bernada kritik. Belakangan nyaris tak ada pentas seni yang mengusung kritik-kritik sosial. Mungkin senimannya juga menjadi malas.
Di kacah politik, juga berpengaruh, politisi legislatif yang bicara memberi kritik, diserang oleh buzzer dan pengikutnya, padahal pekerjaan legislator begitu.
Maka, tak heran kalau dunia politik di Senayan sekarang makin tidak menarik, tidak ada lagi adu argumen kuat dalam setiap pengambilan keputusan. Ini bisa dilihat bagaimana pengambilan keputusan RUU Cipta Kerja dan revisi UU KPK. (*)