Kehangatan yang didambakan Kasminah lebih dari itu, dan Jayadi siap menjadi donatirnya. Maka diam-diam dia mulai mendekati bini Kadar ini.
Ternyata memang bagaikan orang ngantuk disorong bantal, kehadiran Jayadi diterima dengan gegap gempita. Ada sekedar lobi-lobi politik selama beberapa kali kunjung, tapi kemudian Jayadi lepas sarung......
Menggarap “sawah” Kasminah memang sangat mengasyikkan, sehingga Jayadi jadi ketagihan. Tahu-tahu bini Kadar ini hamil. Celakanya, ketika dimintai tanggungjawab Jayadi malah ghosting, alias menghilang entah ke mana.
Mungkin dia juga berpikir, tanggungjawab juga tidak semudah itu, karena harus menunggu diceraikan oleh Kadar sebagai suaminya. Itu pun belum tentu pihak suami sahnya bisa menerima. Lha kala malah menuntut secara hukum? Mendingan kabur saja!
Ketika Jayadi benar-benar kabur, Kasminah jadi pusing 7 keliling. Bagaimana nanti jika ketahuan suami? Ah, suami kan masih di luar negeri.
Jika dia tanya keadaannya, jawab saja: baik-baik saja, toh dia takkan minta dikirimi foto kondisi perutnya yang belakangan mulai mengembang.
Sekarang dia cukup menyiasati bagaimana hidup berdampingan dengan mertua. Agar kehamilan tidak tampak, kini dia mendadak pakai gamis.
Kalau ditanya orang, kenapa mendadak pakai gamis, apakah sudah memperoleh hidayah? Kasminah mengangguk saja, padahal aslinya, belakangan dia cuma tidak memperoleh haid saja!
Berkat baju gamis nan longgar, meski perut terus membesar dan puser bergeser dari garis ekuator, dia tenang-tenang saja. Kepanikan terjadi ketika hari persalinan tiba.
Jangan sampai tangisan bayi kedengaran orang, begitu lahir bayi itu langsung ditutup mulutnya sampai kehabisan napas dan wasalam.
Mayat bayi itu kemudan disembunyikan dulu di balik pintu. Tapi apa lacur, sebelums siap Kasminah untuk menguburkan, sudah ketahuan oleh sang mertua.
Gegerlah warga desa Getas.