Namun satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa gotong royong bukanlah muncul dalam keadaan
serba berlebihan, sebab ini wajar, memberi karena berkelebihan.
Gotong royong dalam maknanya yang paling hakiki, justru ketika diberikan di tengah keterbatasan.
Gotong royong yang dilakukan dengan memberikan sesuatu di balik kekurangannya. Itulah makna
spiritualitas dari gotong royong itu.
Sebab, gotong royong yang seperti ini benar-benar digerakan oleh sikap hidup yang sadar sesadar-sadarnya bagi kepentingan bersama atau kepentingan yang lebih besar.
Begitu banyak pengalaman yang terjadi ketika perjuangan di awal kemerdekaan Indonesia
dilakukan dengan cara gotong royong. Bela negara digemakan dengan semangat gotong royong.
Pelayanan publik dilakukan dengan gotong royong.
Bahkan, dalam berbagai cerita tentang heroisme yang muncul ketika indonesia baru saja diproklamasikan, ada sosok Marhaen yang di balik kemiskinannya, memberikan lima tiang bambu
yang ditanam dari lahannya yang sempit.
Dengan 5 batang bambu itulah, ia begitu bersemangat untuk membantu mengibarkan sang saka
Merah Putih ke angkasa raya. Ini adalah spirit gotong royong di balik kekurangan itu.
Ada juga suatu cerita bagaimana seorang janda mempersembahkan sekeping uang sebagai satu-satunya harta yang dimilikinya untuk dipersembahkan bagi keyakinannya atas kepentingan yang lebih besar.
Sekeping uang mungkin tidak ada artinya bagi sosok konglomerat besar. Namun ketika sang janda
memberikan sekeping uang di balik kemiskinannya karena kesadaran bahwa dengan uang sekeping itu ia menjalankan kewajibannya dengan tulus ikhlas, maka dari balik kekurangannya itulah, makna gotong royong mendapat pemaknaan yang sebenarnya.
Indonesia harus berbangga bahwa begitu kuatnya kesadaran rakyat untuk bergotong royong di
balik kekurangannya. Topangan semangat gotong dalam makna yang paling hakiki tersebut membawa implikasi serius terhadap makna kekuasaan tertinggi.
Ketika kekuasaan tertinggi dijalankan dengan wataknya yang koruptif, apalagi ditambah dengan gaya represif sebagaimana dilakukan oleh Pak Harto, maka kekuasaan dengan topangan gotong royong rakyat itu akan menciptakan karma politik.
Karma politik barangkali hidup dalam alam spiritual. Namun data empiris menunjukkan bahwa ketika kekuasaan tertinggi melupakan esensi makna kekuasaan yang berasal dari gotong royong dan pengorbanan rakyat, maka alam spiritual akan bertindak dengan hukumnya sendiri yang mewujud dalam karma politik.