Olimpiade

Sabtu 24 Jul 2021, 08:45 WIB

Oleh: Hasto Kristiyanto
 

Perhelatan besar olahraga dunia yang memiliki sejarah panjang dalam peradaban umat manusia dimulai di Tokyo 23 Juli 2021 dan dibuka tepat jam 18:00 WIB.

Olimpiade 2021 yang digelar di tengah pandemi Covid-19 seakan menyerukan perlawanan umat manusia terhadap virus yang mematikan dan telah melumpuhkan seluruh sendi kehidupan.

Olimpiade pun seakan meneriakkan perjuangan manusia untuk tidak pernah menyerah di dalam menghadapi berbagai tantangan.

Ilustrasi : Olimpiade

Olimpiade yang dibuka pada tahun ini sebetulnya merupakan Olimpiade Tokyo 2020 yang penyelenggaraannya mundur setahun akibat pandemi.

Berkaitan dengan pelaksanaan olimpiade tersebut, menimbulkan polemik dalam negeri.

Beberapa kelompok elemen masyarakat Jepang sempat menolak penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020 dengan alasan kekuatiran bahwa event ini akan memicu munculnya gelombang baru pandemi di Jepang yang akan membahayakan masyarakat Jepang sendiri.

Menanggapi keresahan masyarakat berkaitan dengan pesta akbar olah raga dunia tersebut, pemerintah Jepang dengan komunikasi yang baik, terarah, terukur dan kompak dari seluruh jajaran pemerintahan berhasil meyakinkan masyarakatnya bahwa pemerintah Jepang akan menyusun sejumlah langkah untuk mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 akibat Olimpiade yang akan digelar.

Beberapa keputusan tegas dan ketat yang dibuat salah satunya adalah bahwa penonton dari luar Jepang tidak diizinkan masuk ke Jepang.

Mereka menutup gerbangnya untuk wisatawan atau penonton. Setiap negara hanya diizinkan mengirimkan atlet, pelatih, tim medis dan pengurus olahraga setempat saja.

Ijin dan akses masuk negara Jepang pun, dilakukan dengan seleksi ketat. Misalnya, siapa pun yang akan berangkat ke Jepang harus melakukan swab PCR setiap hari selama 7 hari sebelum terbang ke Tokyo.

Itu pun, Jepang memberikan persyaratan mengenai standar alat PCR yang digunakan di negara masing-masing.

Sebagai contoh di Jakarta, hanya ada 2 alat PCR di 2 Rumah Sakit di Jakarta yang memenuhi standar pemerintah Jepang sehingga seluruh kontingen yang wajib melakukan PCR sebelum terbang hanya dapat melakukannya di kedua Rumah Sakit tersebut.

Masih banyak lagi langkah-langkah yang dilakukan pemerintah Jepang untuk melindungi masyarakatnya.

Dengan keberhasilan komunikasi ini, masyarakat Jepang merasa yakin dan percaya atas berbagai langkah yang dilakukan pemerintahnya itu.

Secara komersial, tentu saja dalam masa pandemi ini dengan berbagai larangan itu, penyelenggaraan Olimpiade ini tidak banyak menghasilkan keuntungan ekonomi untuk Jepang.

Tetapi, ke depan, Jepang akan diingat sebagai negara yang berhasil menyelenggarakan perhelatan kelas dunia dalam kondisi serba terbatas ini.

Sosio-kultur masyarakat Jepang yang kita kenal patuh dan sangat disiplin ini sangat membantu keberhasilan pemerintah Jepang dalam menyelenggarakan Olimpiade. 

Jepang ingin membuktikan bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang optimis, menatap ke depan, tidak gentar dengan berbagai tantangan dan pembuktian mereka kepada dunia ada pada penyelenggaraan Olimpiade ini.

Bagi Indonesia sendiri, olimpiade yang pernah diikuti memiliki rekam jejak sejarah tersendiri.

Meski sejak awal dalam sejarah olimpade modern ditegaskan bahwa olah raga tidak boleh tercampur dengan urusan politik, namun ketika menyangkut hal yang prinsip, yang berkaitan dengan sikap hidup sebagai bangsa, meski membawa berbagai konsekuensi, hal yang prinsip tetap harus diutamakan. Salah satu peristiwa sejarah tersebut adalah Asian Games 1962.

Pada waktu itu, setelah 3 kali menjadi peserta dalam ajang Asiang Games, Indonesia didaulat menjadi tuan rumah Asian Games yang keempat pada tahun 1962.

Event tersebut menjadi kesempatan bagi Indonesia sebagai bangsa yang baru merdeka untuk menunjukkan eksistensinya, harkat, martabat maupun prestasi olah raga di mata dunia. Bung Karno menyiapkan segala sarana dan prasarana secara serius.

Hotel Indonesia dibangun untuk menerima para atlit dan tamu undangan, kompleks gelora Senayan beserta stadion beratap melingkar yang tak ada duanya di dunia, termasuk jalan potong baru yang dibuat setengah lingkaran dan menyerupai daun semanggi atau klaverblad, hingga pembangunan Monas, Tugu Selamat Datang, Masjid Istiqlal dan masih banyak lagi.

Bagi Bung Karno, sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggaan adalah hal penting.

Asian Games 1962 berlangsung sukses. Akan tetapi, sekali lagi, Bagi Soekarno, antara olah raga dan politik tidak bisa dipisahkan.

Saat itu, Indonesia mengambil sikap untuk tidak mengikutsertakan Israel dan Taiwan dengan tidak mengeluarkan visa bagi delegasi mereka. Hal tersebut dilakukan demi penghormatan atas negara-negara Arab dan China.

Bagi Indonesia, apa yang dilakukan bukanlah mencampuradukkan antara olah raga dan politik. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Terlebih sikap penolakan terhadap Israel dan Taiwan, juga sikap atas invasi Soviet ke Afganistan yang menjadikan Indonesia memboikot Olimpiade tahun 1980.

Sikap tegas tersebut karena Indonesia berangkat dari prinsip bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Atas sikap politik di tahun 1960an tersebut, Indonesia mendapat protes keras dari Asian Games Federation, pengurus Olympic Games, dan Komite Olahraga Internasional.

Terhadap teguran tersebut, Sukarno tidak gentar, "IOC telah menunjukkan bahwa IOC hanyalah sebuah alat imperialisme, termasuk politik. Olimpiade telah terbukti secara terbuka sebagai alat imperialisme.

Maka lebih baik kita terus terang saja, bahwa sport tidak dapat dipisahkan dengan politik, dan Indonesia secara terang-terangan sekarang mengusulkan untuk menggabungkan olahraga dengan politik," ujar Bung Karno dalam pidatonya.

Lebih dari itu, Sukarno justru seolah menunjukkan kemandirian dan prinsip berbangsa bernegera dengan mengadakan ‘olimpiade tandingan’ dengan apa yang dinamakan GANEFO.

Ganefo yang diadakan selang setahun dari Asian Games meruapakan kependekan dari Games of New Emerging Forces yang berarti Pesta Olahraga Negara-negara Berkembang.

Ganefo diikuti juga oleh negara-negara Eropa, Afrika dan Amerika Latin. Melalui Ganefo, Indonesia ingin menunjukkan keberpihakan, prinsip ideologi dan perjuangan akan suatu tata dunia baru yang bebas dari segala belenggu penjajahan yang menghisap, yang mengkerdilkan harga diri bangsa.

Tetapi bukan hanya dalam aspek politik, Sukarno bersungguh-sungguh untuk menciptakan budaya olah raga. Melalui menterinya, Sukarno memerintahkan dengan jelas .

"Maladi, engkau aku jadikan Menteri Olahraga dan perintahku kepadamu ialah buatlah seluruh bangsa Indonesia ini sport-minded. Dari orang Indonesia yang sudah kakek-kakek, nenek-nenek sampai kepada anak-anak yang masih kecil, jadikanlah seluruh Rakyat Indonesia sport-minded. Kuperintahkan: Gerakkan, gerakkan, gerakkan seluruh bangsa Indonesia dan seluruh bangsa New Emerging Forces ini, dengan cara yang sehebat-hebatnya,".

Melalui olah raga, Indonesia mengedepankan politik olah raga dengan nilai-nilai sportivitas. Melalui olah raga, Bung Karno ingin masyarakat Indonesia mampu memiliki politik stamina membangun bangsa, memajukan kesejahteraan umum karena manusia Indonesia harus sehat  jasmani dan rohaninya sebagai prasyarat dasar.

Kepedulian Bung Karno akan kesehatan jasmani sebagai perwujudan adagium mensana in corpore sano, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat, juga mengejawantah dalam gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan yang berkembang.

Seperti misalnya, setelah diadakan Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955, muncul juga konferensi dokter anak Asia Afrika. Bung Karno mempunyai harapan dan keinginan agar anak-anak Indonesia sehat dan memiliki gizi yang cukup, sehingga kemampuan intelejensinya, tinggi badannya, postur tubuhnya, ideal, sehat sebagaimana karakter dan kepribadiannya yang berjiwa Pancasila.

Bagi Bung Karno, olah raga juga menjadi sarana pemersatu bangsa, nasionalisme bangsa yang baru merdeka digelorakan lewat olah raga.

Dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1957, Bung Karno dengan tegas menyatakan pentingnya olah raga bagi nation building. Karena itu, pelaksanaan pendidikan jasmani, bukan hanya urusan di sekolah, tapi juga menjadi urusan staatzorg (negara) dan menetapkannya sebagai staatsplicht (keharusan negara).

Pembangunan olah raga menjadi bagian dari revolusi kebangsaan. Oleh karena itu, spirit olah raga harus terus digelorakan, semangat untuk menjadi sehat dan kuat, bukan pertama-tama untuk menang, tetapi untuk membangun. Menjadi yang kuat untuk menolong yang lemah. Menjadi yang sehat untuk mengisi kemerdekaan, membangun peradaban.

Dengan spirit olahraga-minded sebagaimana ditegaskan Bung Karno tersebut, maka kepada seluruh delegasi Olimpiade Indonesia di Tokyo harus menggelorakan semangat yang sama, bahwa olah raga adalah bagian dari  politik nasionalisme Indonesia guna mengibarkan Sang Saka Mera Putih di angkasa ketika Indonesia menjadi juara. Salam olah raga!

News Update