Oleh: Ilham Tanjung, Wartawan Poskota
TURNAMEN Piala Eropa 2020 sudah berakhir. Timnas Italia keluar sebagai juara lewat drama adu penalti melawan Inggris di Wembley Stadium. Banyak catatan penting yang bisa kita ambil dari pergelaran turnamen empat tahunan itu untuk penyelenggaraan olahraga sepak bola di tanah air.
Dari segi penyelenggaraan misalnya, Union of European Football Associations (UEFA) memperbolehkan penonton untuk menyaksikan pertandingan meski di tengah pandemi Covid-19. Di babak semifinal dan final, penonton yang masuk mencapai 75 persen dari kapasitas tempat duduk di dalam Wembley Stadium.
UEFA juga mengambil langkah penting untuk menjaga keamanan penonton di Wembley Stadium. Prioritasnya adalah memberikan Euro yang aman bagi semua orang. Dalam pelaksanaannya UEFA menerapkan aturan baru sebagai antisipasi penyebaran Covid-19.
Dikutip dari situs UEFA, aturan tersebut diantaranya slot waktu masuk yang ditentukan untuk setiap pemegang tiket. Disini penonton memiliki waktu 30 menit untuk tiba di stadion untuk memastikan kepatuhan terhadap pedoman jarak sosial.
Kemudian dari segi kebersihan, rata-rata 800 unit hand sanitiser ditempatkan pada titik-titik strategis di sekitar setiap stadion. Semua stadion tempat digelarnya Euro 2020 dibersihkan secara teratur sepanjang hari pertandingan.
Selanjutnya antrian, tanda lantai yang jelas membantu penonton untuk mempertahankan gerakan tanpa mengorbankan peraturan jarak sosial. Transaksi juga dilakukan tanpa uang tunai dan yang paling penting pemeriksaan suhu dan tes Covid-19.
Tes harus dilakukan dalam waktu 48 jam sejak gerbang stadion dibuka. Artinya tiga jam sebelum pertandingan dimulai penonton sudah dilakukan pengecekan kesehatan. Aturan tersebut terlihat bahwa masyarakat Eropa sudah mulai bersahabat dengan Covid-19 dengan menerapkan Protokol Kesehatan (Prokes) Ketat.
Bagaimana dengan sepak bola Indonesia? Kabar turnamen Liga 1 dan 2 hingga kini belum juga mendapat kejelasan. Satu tahun tujuh bulan Liga Indonesia mati suri, padahal di negara Asia Tenggara turnamen sepak bolanya bergulir dengan pengaturan prokes ketat.
Wacana Liga 1 dan 2 yang tertunda akan bergulir pada bulan September dan Oktober mendatang kembali dihembuskan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan PT Liga Indonesia Baru (LIB). Hal tersebut muncul usai rapat dengan klub-klub kontestan sepak bola beberapa waktu lalu.
Namun wacana ini mendapat jawaban pesimistis dan ketidakyakinan dari para pecinta sepak bola tanah air dan klub peserta. Pasalnya, kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Masyarakat (PPKM) Darurat membuat kompetisi mustahil akan dimulai pada bulan September.
Pemerintah masih akan memperhitungkan penerapan PPKM Darurat untuk menekan laju penularan Covid-19. Jika ini yang terjadi, kita tinggal menunggu waktu klub-klub banyak yang akan mati suri karena tidak bisa membiayai klub termasuk kontrak dan gaji para pemainnya lantaran tidak adanya pemasukan.
Bahkan satu per satu klub mulai mengambil sikap di tengah kondisi ini. Setelah Madura United, giliran Borneo FC yang menghentikan aktivitas tim. Para pemain diliburkan dan diperbolehkan pulang untuk waktu yang belum pasti.
Karena itu, mau tidak mau PSSI dan PT LIB harus segera bertindak. Otoritas tertinggi dan penyelenggara sepak bola Indonesia ini harus belajar dari turnamen Piala Eropa. Liga Indonesia tidak perlu menghadirkan penonton ke dalam stadion, cukup sepak bola bisa bergulir di tengah pandemi dengan aturan prokes ketat.
Sepakbola Indonesia di kancah Asia Tenggara sudah ketinggalan dan mulai redup karena tidak adanya kompetisi. Jika negara tetangga bisa menggelar sepak bola, kenapa Indonesia tidak ? Saatnya kita harus berani berdamai dengan Covid-19 di tengah gencarnya vaksinasi yang diterapkan pemerintah terhadap masyarakat.
Segera berdamai dengan virus corona dengan tetap menerapkan aturan prokes. Jika tidak, hidup kita dan dunia olahraga akan selalu dibayangi ketakutan Covid-19 yang tidak ada akhirnya. Seperti kata Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, “Kita harus berdamai dengan Covid. Bukan berarti menyerah dan menjadi pesimistis. Justru kondisi ini merupakan titik tolak menuju tatanan kehidupan baru masyarakat”. **