“Namun, jika situasi sulit dan menekan berlangsung berkepanjangan, kondisi resiliensi yang rendah ditambah dengan adanya gangguan mental yang dirasakan, termasuk gangguan depresi, dapat menurunkan kondisi kesehatan mental seseorang,” demikian dijelaskan oleh Ketua Tim Peneliti, Rocky Hatibie.
Bagus Takwin selaku Peneliti Utama dalam tim ini memaparkan.
“Penelitian ini juga menemukan adanya gangguan-gangguan mental yang dapat menurunkan kesehatan mental, di antaranya sulit berkonsentrasi, tidak merasa puas dengan apa yang dijalani, sulit mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah.
“Hal-hal ini perlu diwaspadai karena jika gangguan mental berlangsung terus-menerus akan menurunkan kesehatan mental dan memunculkan gangguan mental lainnya.”
Mahasiswa adalah kelompok yang memiliki rata-rata resiliensi paling rendah, begitu juga dengan guru dan ibu rumah tangga.
Jika dilihat dari prosentase jumlah orang yang memiliki resiliensi rendah, pekerja informal adalah kelompok yang lebih banyak memiliki resiliensi rendah dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya.
Pada kelompok profesional, meskipun memiliki resiliensi yang rendah, namun resiliensi mereka masih lebih baik dibanding kelompok lain.
Dari seluruh responden, kelompok dosen yang memiliki resiliensi paling tinggi.
Penelitian ini juga menemukan faktor yang paling berpengaruh pada resiliensi adalah afek positif.
Afek positif adalah kecenderungan seseorang untuk mengalami emosi positif, serta berinteraksi dengan orang lain dan mengatasi tantangan hidup secara positif.
Temuan ini menunjukkan semakin sering seseorang mengalami afek atau emosi positif, maka semakin baik pula resiliensinya.
Sebaliknya, semakin banyak seseorang mengalami afek negatif dan gangguan depresi, semakin rendah resiliensinya.