SERANG, POSKOTA.CO.ID - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten kembali menerima laporan pengaduan terkait dengan program penanganan Covid-19 di Banten.
Laporan pengaduan itu terkait dengan pengadaan hand sanitizer pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Banten yang diduga bermasalah.
Kasi Penkum Kejati Banten Ivan Hebron Siahaan saat dikonfirmasi membenarkan jika pihaknya telah menerima laporan temuan dan dugaan adanya masalah dalam pengadaan 66 ribu handsanitizer di BPBD Banten.
“Iya Laporan Pengaduan Dugaan (Lapdu) adanya pelanggaran hukum ada, sudah masuk,” katanya, Jumat (18/6/2021).
Namun sayangnya, lanjut Ivan, laporan itu tidak bisa ditindaklanjuti. Hal itu dikarenakan Kejati Banten hanya bertugas melakukan pengawasan, dan kasus itu sudah ada pengembalian.
“Auditnya dari BPKP dan Inspektorat. Kejaksaan hanya sebagai akuntabilitas, karena auditnya di Inspektorat. Kami minta tindak lanjut, tapi ternyata sudah dikembalikan dan sudah disetorkan ke kas daerah,” jelasnya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, kegiatan pengadaan hand sanitizer pada BPBD Provinsi Banten itu dikerjakan oleh PT DSB dengan surat pemesanan nomor 026/005-SP/BTT.COVID-19/BPBD/2020 tanggal 31 Maret 2020, dan kontrak pesanan nomor: 027/005/Kontrak/BTT.COVID-19/BPBD/2020 tanggal 15 April 2020 senilai Rp2,5 miliar.
Adapun rincian pengadaan handsanitizer 250 mililiter sebanyak 66 ribu botol. Spesifikasinya yakni Alcohol 70 persen, Gliceral H202, Fragrance, Aquades, warna bening, uji laboratorium Sucofindo, warna stiker hijau dan putih, logo Pemprov Banten dan BPBD Banten, serta label gratis. Dengan jumlah harga satuan Rp38.250 per botol.
Pengadaan hand sanitizer melalui alokasi belanja tak terduga (BTT) Covid-19 tahun 2020 itu diduga bermasalah, karena berdasarkan pemeriksaan labolatorium, dari 66 ribu botol ukuran 250 mililiter, 8 ribu botol hasilnya 99,9 persen tidak dapat membunuh kuman dan seluruhnya ilegal.
Terhadap handsanitizer yang diterima BPBD Banten, kemudian dilakukan pengujian ke Balai Besar Kesehatan Jakarta pada 6 Juni 2021.
Hasilnya, handsanitizer tidak memiliki kemampuan daya hambat mikro organisme, dan handsanitizer tidak mampu membunuh 99,9 persen kuman atau bakteri.
Kemudian handsanitizer itu kembali dilakukan uji laboratorium ke Sucofindo pada 29 Juli 2020, dan hasil laboratorium dikeluarkan pada 14 Agustus 2020, dengan hasil handsanitizer memiliki kemampuan terhadap 1 dari 5 anti bakteri.
Selain itu, pada saat penyusunan surat pesanan, PPK tidak meminta contoh barang dan tidak mengklarifikasi sumber barang atau handsanitizer tersebut. Sedangkan PT DSB melakukan pengadaan 66 ribu botol handsanitizer melalui dua perusahaan.
Yakni, CV LKI sebanyak 14.500 liter handsanitizer dalam kemasan jerigen 5 liter yang kemudian dikemas ulang dalam kemasan 250 ml kedalam 58 ribu botol. PT DSB juga membeli 8 ribu botol dari perusahaan lain, namun tidak diketahui asal pabrikan barang tersebut.
Sehingga, 66 ribu botol handsanitizer pengadaan dari PT DSB itu tidak memiliki izin produksi dan izin edar Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Kemudian PT DSB menyerahkan handsanitizer dilengkapi hasil uji lab Sucofindo, izin produksi dan izin edar kementerian kesehatan. Namun setelah diklarifikasi ternyata rekayasa atau ilegal.
Dalam pemeriksaan Inspektorat Banten, diketahui bahwa PT DSB telah melanggar Perpres nomor 16 tahun 2018, Permenkes nomor 1186/MENKES/PER/VII/2020 tentang produksi alat kesehatan, perbekalan kesehatan rumah tangga.
Kemudian, Permenkes nomor 62 tahun 2017 tentang izin edar alat kesehatan, dan peraturan Gubernur Banten nomor 48 tahun 2019 tentang pedoman pelaksanaan APBD tahun 2020.
Kepala BPBD Provinsi Banten Nana Suryana saat dikonfirmasi membenarkan adanya temuan tersebut. Bahkan Inspektorat juga menemukan adanya kelebihan pembayaran sekitar Rp200 juta, namun telah dikembalikan.
“Sudah ditindaklanjuti sesuai Laporan Hasil Audit (LHA) Inspektorat dan BPKP tahun 2020,” katanya. (kontributor banten/luthfillah)