Oleh: Tatang Suherman, Wartawan Poskota
Tanggal 2 Maret tahun 2020, atau 15 bulan lalu, presiden Jokowi resmi mengumumkan pasien positif COVID-19 pertama di Indonesia.
Tak lama dari itu, tepatnya 11 Maret 2020, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Kepala World Health Organization (WHO) mengumumkan munculnya kasus positif covid-19 di Indonesia, dan WHO menetapkan sebagai pandemi.
Karena begitu mendadak datangnya, masyarakat di Indonesia maupun dunia, belum benar-benar siap menghadapi virus corona. Ketidaksiapan menghadapi pandemi ini terlihat dari morat-maritnya antisipasii terhadap gejolak covid yang hampir merata di seluruh Indonesia.
Dalam kondisi panik, muncul masalah masker yang sempat menjadi perbincangan pelik. Masker sangat langka. WHO pun menyarankan bahwa prioritas penggunaan masker medis adalah yang berisiko tinggi yakni petugas kesehatan.
Imbas kelangkaan masker, CDC dan WHO mengimbau masyarakat menggunakan masker kain.
Protes sempat bermunculan. Tetapi George Rutherford, MD epidemolog University of California San Fransisco (UCSF) meminta agar masyarakat dunia memaklumi mengingat terbatasnya persediaan masker.
Saat masker kain ngehits, jenis masker scuba paling banyak diminati. Cukup beralasan lantaran bahannya yang tipis sehingga membuat pemakainya lebih ‘lega’ bernapas.
Karena terjadi pro kontra di balik penggunaan masker scuba, kemudian keluarlah larangan mengenakan jenis masker ini terutama para pengguna KRL.
Sekarang masker melimpah. Satu pax masker ada yang Rp 13.000. Artinya masker sudah tidak jadi masalah. Yang menjadi masalah adalah kedisiplinan masyarakat untuk menggunakan masker.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat telah membuktikan bahwa pemakaian masker merupakan cara paling efektif untuk mencegah penularan virus corona atau Covid-19.