ADA pepatah mengatakan ”Orang bijak akan malu, jika ucapannya lebih baik dari tindakannya”. Maknanya harusnya kita malu jika perbuatan tak sesuai dengan perkataan. Tindakan yang dilakukan tak seindah rangkaian kata yang diucapkan. Apalagi, sudah ucapannya tidak baik, tindakannya pun amburadul ga karuan. Jauh dari etik dan moral bangsa.
Begitu pun dalam kehidupan bermasyarakat, lebih-lebih di era sekarang ini. Untuk menghadapi beragam tantangan dan menyelesaikan berbagai persoalan, lebih dibutuhkan tindakan konkret, ketimbang ucapan yang berbelit.
Satunya kata dengan perbuatan hendaknya menjadi rujukan etik dan moral bagi siapa pun dia, utamanya bagi para pemimpin negeri ini di tingkatan mana pun, baik pemimpin non formal, apalagi pemimpin formal.
Keteladanan semacam ini yang kian dibutuhkan. Anak muda di era milenial lebih melihat kepada figur bukan karena ucapannya, tetapi tindakannya. Generasi muda sekarang lebih membutuhkan model, bukan pernyataan yang penuh euforia tanpa karya nyata. Lebih menghargai kepemimpinan yang meneladani, bertindak sebagai guru atau mentor, bukan bos.
Tokoh yang penuh kreasi, membangun inspirasi dan motivasi dengan ucapan yang kemudian diikuti dengan perbuatan, itulah yang sekarang banyak dipuji. Sebaliknya, tokoh yang lebih banyak berkomentar, tetapi perbuatannya tak selaras pernyataannya, lazimnya akan dibully.
Karenanya sangat mendasar “satunya kata dengan perbuatan” untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Senyawa antara kata dan perbuatan.
Boleh jadi semua orang pandai bicara, bisa tampil penuh kharisma di hadapan publik, tetapi jika perbuatannya tidak sejalan dengan ucapannya, sama halnya mencela diri sendiri.
Pepatah Jawa mengatakan "Kakehan gludhug, kurang udan “ – yang artinya kakehan gludhug = banyak guruh, kurang udan = sedikit hujan. Jika diterjemahkan secara bebas adalah “Banyak bicara tanpa kenyataan.“
Itulah kias bagi orang yang terlalu banyak bicara, omong gede, janji kosong, tapi output-nya tidak ada . Jika omongannya disanggah sering tidak memberi reasoning dan, boleh jadi malah escape dengan pindah topik. Akan lebih berbahaya jika dalam mengalihkan perhatian tidak hanya dengan ucapan, tetapi melalui perbuatan dengan kewenangan yang dimilikinya.
Dalam makna yang lain, dapat dikatakan perilakunya jauh menyimpang dari apa yang diucapkan. Itulah tidak satunya kata dengan perbuatan.
Sebut saja, jika teriak berantas korupsi, tetapi dia atau kerabatnya terjerat korupsi. Bicara kencang jangan langgar hak asasi manusia, tetapi perbuatannya tidak mencerminkan penghormatan terhadap hak orang lain, apalagi kalau sampai melanggar dan mengambil hak orang lain.
Lantang menyuarakan kepentingan rakyat, tetapi mendukung kebijakan yang meminggirkan kehendak rakyat. Mengaku berdiri paling depan membela rakyat kecil, tetapi menggusur keberadaan rakyat kecil.
Perilaku yang demikian tidak menjunjung tinggi etik dan moral sebagaimana telah dipedomani dalam falsafah bangsa kita sejak dulu kala yang kemudian dilegalkan bersamaan dengan berdirinya negeri kita tercinta ini.
Derajat moral seseorang, tak terkecuali pemimpin siapa pun dia akan tercermin dari tiga hal, yakni lisan (ucapan), perbuatan dan selarasnya ucapan dengan perbuatan.
Tentu, ucapan dan perbuatan yang baik. Memberikan inspirasi serta memotivasi masyarakat memecahkan segala persoalan bangsa. Membangun, bukan merusak. Menyatukan, bukan memecah belah persatuan.
Keteladanan semacam ini yang hendaknya dipertontonkan kepada publik sebagai tuntunan. (*)