Oleh: Irdawati, Wartawan Poskota
PROSES penerimaan peserta didik baru (PPDB) secara online kini tengah berlangsung hingga Juli mendatang. Aturan PPDB 2021 mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 tahun 2021 tentang PPDB pada TK, SD, SMP, SMA, SMK yang diterbitkan pada 7 Januari lalu.
Calon siswa serta orangtua kini ‘harap harap cemas’ menanti kepastian apakah bisa lolos ke sekolah yang diinginkan. Kalau pun gagal masuk di sekolah yang diinginkan, sekolah mana pun bukan persoalan. Tidak perlu sekolah favorit, yang penting sekolah negeri.
Penerimaan siswa baru dilakukan melalui 4 jalur yaitu zonasi, afirmasi, prestasi dan perpindahan orangtua. Untuk wilayah DKI Jakarta ada juga jalur seleksi lewat KJP (Kartu Jakarta Pintar).
Bila semua jalur sudah tertutup, harapan terakhir bertumpu pada bangku kosong. Celakanya, di jalur inilah peluang kecurangan terbuka lebar lewat jual beli bangku kosong.
Semua jalur sebetulnya punya potensi kecurangan bila tidak ada pengawasan ketat. Sistem PPDB online belum menjamin bersih dari kecurangan. Isu tak sedap kerap muncul setiap tahun saat penerimaan siswa baru.
Potensi kecurangan menjadi terbuka karena begitu ketatnya persaingan untuk bisa mengenyam pendidikan di sekolah negeri. Ini terjadi karena pertumbuhan jumlah siswa baru tidak diimbangi dengan penambahan sekolah negeri.
Alhasil, jutaan calon murid terpaksa berjibaku bersaing memperebutkan bangku sekolah negeri. Potensi kecurangan pun muncul di tahapan proses PPDB.
Mulai dari keabsahan dokumen, verifikasi data, hingga input data berpotensi ada celah kecurangan. Celah inilah yang bisa menjadi ajang kolusi antara oknum nakal panitia pelaksana PPDB dengan orangtua calon siswa.
Potensi kecurangan juga bisa terjadi pada sistem zonasi. Salah satu modusnya, data palsu soal domisili seperti kasus yang ditemukan di Bekasi beberapa waktu lalu.
Pendek kata, kecurangan bisa muncul dari pihak orangtua murid tanpa sepengetahun panita penerimaan siswa baru, bisa juga kolusi antara orangtua dengan oknum panitia.
Kecurangan bisa terjadi di berbagai jalur bila tidak ada tranparansi dalam proses PPDB. Mulai dari jalur seleksi tahap awal, hingga tahapan terakhir lewat jalur bangku kosong, celah kecurangan terbuka lebar.
Di jalur bangku kosong ini yang paling seru karena bisa terjadi adu kuat ‘fulus’ antara orangtua calon siswa. Belajar dari kejadian tahun-tahun sebelumnya, fulus kerap menentukan keberhasilan berebut bangku kosong.
Kecurangan dalam proses PPDB harus dicegah sejak awal. Saat inilah peran Inspektorat Jenderal sangat diperlukan. Awasi ketat PPDB di setiap daerah dan lakukan seleksi secara transparan.
Penerimaan siswa baru bisa menjadi ajang kolusi, korupsi dan nopotisme atau KKN bila mekanisme pengawasan tidak berjalan. Harus digarisbawahi, kecurangan bukan saja merugikan calon siswa lain, tapi juga mencoreng wajah dunia pendidikan. (**)